Saturday, 23 April 2016

Published 06:30:00 by

sosiologi agama


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Agama hampir dapat dipastikan akan mengalami dampak yang cukup mengancam kelangsungan hidupnya, ketika sekularisasi besar-besaran telah menggusur ikatan yang bersifat “sakral, suci, dan transenden”, sehingga afinitas keagamaan makin pudar dan luntur, bahkan kadar keberagamaan dalam pergaulan hidup manusia era modern, inilah salah satu ciri dan dampak dari era yang disebut “Zaman Teknik”.
            Memang harus diakui bahwa manusia telah melalui suatu perjalanan panjang dalam pencarian hakekat dan makna pencarian hakekat dan makna hidupnya. Pengalaman demi pengalaman telah dilalui yang pada akhirnya manusia telah sampai kepada puncak kemajuan melalui pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), dimana IPTEK mendominasi segala aspek kehidupan. Kemodernan identik dengan kehidupan keserbaadaan. Sedangkan modernisasi itu sendiri merupakan salah satu ciri umum peradaban maju – yang dalam sosiologi berkonotasi perubahan sosial masyarakat yang kurang maju atau primitif untuk mencapai tahap yang telah dialami oleh masyarakat maju atau berperadaban.
            Mungkin modernitas memang suatu keharusan sejarah manusia, modernisasi merupakan factor yang sangat berpengaruh dalam kehidupan, baik individual maupun kemasyarakatan. Tidak kurang filosof eksistensialis menyebut era ini sebagai “kehancuran”, kendatipun membuka berbagai kemungkinan baru.








B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimana Dialektika Agama dan Modernitas?
b.      Apa Gejala dan Definisi Modernisasi?
c.       Bagaimana Pandangan Tentang Proses Modernisasi?
d.      Bagaimana Dampak dari  Globalisasi ?

C.    Tujuan Masalah
a.       Agar dapat mengetahui Dialektika Agama dan Modernitas.
b.      Memahami dan mengetahui Gejala dan Definisi Modernisasi.
c.       Mengetahui dan memahami tentang proses Modernisasi dan Dampaknya.





















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Dialektika Agama dan Modernitas
1.      Dinamika Agama
Agama kerap diasumsikan bertolak belakang dengan modernitas. Perbedaan pandangan tersebut dapat dilihat dari dua faktor. Pertama, dikotomi ini ibarat pemisahan antara alam langit dan alam bumi. Realitas bumi secara prinsip dalam khazanah masyarakat modern dianggap sebagai realitas objektif, sedangkan realitas langit dianggap sebagai realitas subjektif.
Bagi masyarakat agama, justru sebaliknya. Realitas langitlah yang merupakan realitas objektif dan realitas bumi sebagai subjektif. Oleh karena itu, dalam tingkatan ilmu tertinggi (paling objektif). Sementara agamis teknologi adalah ilmu rendah. Dalam masyarakat modern, teknologi dengan logic of technic merupakan ilmu tertinggi, sementara agama merupakan ilmu yang rendah.[1]
            Kedua, dari segi asal-usul. Menurut masyarakat agama dalam pengertian orisinal tadi, Tuhan adalah dasar atau asas dari segalanya. Bagi masyarakat modern, manusia adalah dasar dari realitas ini dan Tuhan merupakan penafsiran manusia. Adapun bagi kaum agamawan, pada awalnya manusia adalah tafsiran Tuhan. Maksudnya, Tuhanlah yang merancang atau meencanakan kelahiran manusia dan alamnya. Pada zaman modern ini, Tuhan dianggap sebagai rencana manusia atau penafsiran manusia. Manusialah yang menafsirkan keberadaan Tuhan.[2]

2.      Masalah Agama
Yang diungkapkan Erich Rohman, bahwa kebutuhan manusia akan agama, berakar dalam kondisi dasar eksistensi spesies manusia. Manusia memerlukan objek pengabdian semacam agama agar dapat mengatasi eksistensisnya yang terisolasi dengan semua keraguan dari ketidakmampuannya menjawab arti hidup.[3]
Thomas F. O’Dea[4] menyebutkan ada enam fungsi agama, antara lain:
Pertama, agama mendasarkan diri manusia pada segala sesuatu di luar dirinya. Ia memberikan dukungan moral dari ketidakpastian hidup manusia. Ia juga memberikan berbagai alternatif penyelamatan dari kekecewaan dan kesedihan, serta kegelisahan manusia.
Kedua, agama menawarkan suatu hubungan transendental melalui pemujaan dan peribadatan, dengan memberikan dasar emosional bagi rasa aman dan identitas yang lebih kuat di tengah ketidakpastian dalam hidupnya, serta dalam menghadapi perubahan sejarah dirinya.
Ketiga, agama mensucikan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat yang telah dan akan terbentuk. Agama juga mempertahankan dominasi tujuan kelompok di atas kepentingan dan dorongan individu.
Keempat, agama dapat memberikan standar nilai berupa norma-norma yang telah terlembaga yang dapat dikaji kembali secara kritis. Kelima, agama memberikan kesempatan bagi individu untuk mengenali identitas dirinya, baik pada masa lampau maupun masa mendatang yang tak terbatas. Agama memperluas ego manusia dengan memberikan spirit bagi alam semesta.
Keenam, agama berkaitan dengan evolusi hidup manusia. Perkembangan usia seseorang mempengaruhi karakteristik tingkat keberagamaan manusia. Dengan demikian, agama sebagai pandangan dunia (weltanchauung) sesungguhnya tidak dipisahkan dari manusia. Dengan bahasa ilmiah empiris, dapat dikatakan bahwa kecenderungan asli atau dasar manusia adalah menyembah Tuhan. Tampaknya, posisi agama dalam konteks personalitas demikian tidak banyak mempertentangkannya.[5]

Agama Sebagai Kategori
            Orientasi Weber tentang “dunia” dan “akhirat” tetap merupakan kategori-kategori analisa yang berguna sejauh kita menyadari bahwa orientasi tersebut dibangun dengan acuan orientasi mental seorang pelaku, yang tetap harus membentuk keseimbangan operasional antara keberadaan fisik dan sosial primer pelaku tersebut terhadap yang lain, di lain pihak, atau selanjutnya keseimbangan antara dunia dan yang lebih luas, semesta kosmos yang lebih inklusif.[6]
            Hubungan antara “dunia” dan “akhirat” atau “alam baka” dikonsepsikan secara berbeda-beda oleh para penganut agama yang bersangkutan:
a.       Bagian-dalam-keseluruhan: kehidupan ini adalah sebutir debu belaka dalam kosmos yang dapat dikonsepsikan kurang lebih tak berbentuk, tak mengenal waktu dan arah, atau sangat terstruktur.
b.      Pencerminan: kehidupan ini adalah lawan dari peradaban “alam akhirat”, seperti dalam surga primitif di mana kehidupan adalah sama di atas bumi, hanya “dispritualkan”;[7]
c.       Emanasional: kehidupan adalah variable terikat dari Ide, seperti dikemukakan Hegel;
d.      Ketergantungan dan kesatuan: kehidupan ini adalah landasan bagi keberadaan yang lain yang “lebih tinggi”, jalur yang diperlukan secara berturut-turut melalui “lembah air mata, di mana pada masa itu roh mengalami ujian kesungguhan moral-spiritual, pada akhirnya diadili, dihukum atau diganjar, masing-masing terjadi pada suatu peristiwa besar (misalnya, Hari Pengadilan) atau interval-interval berkala (misalnya, reinkarnasi yang silih berganti), bagi yang berhasil melampauinya dengan baik akan memperoleh ganjaran derajat tertinggi, atau kenistaan bagi yang gagal – yakni, dosa, cacat, keburukan – dan terserap ke dalam keabadian yang tak mengenal waktu.
Unsur moral etika ini umum ditemukan, karena pada agama yang paling transendental sekalipun biasanya mengenal dunia pada batas memberi pedoman, walaupun minimal, cara-cara bertingkah laku di dunia ini, dan terhadap manusia yang lain, tidak hanya terhadap Tuhan dalam pengertian orientasi kepada kehidupan akhir. Jadi, Agama itu berkaitan dengan agama itu sendiri, dalam berbagai perpaduan, dengan masalah etika, kosmologis dan eskatologis, tetapi sama sekali tidak dengan cara yang sama atau dengan bobot penekanan yang sama; sebenarnya, setiap kaitan hubungan ini dapat benar-benar dihilangkan.[8]

3.      Masalah Modernitas
Penyebutan masa kini sebagai “zaman modern” bukan tanpa kritik. Kritik itu muncul karena inti dan hakekat zaman sekarang bukanlah kebaruannya (modern pasti baru). Asumsi ini menegaskan seolah-olah sesudah tahap ini tidak ada lagi yang berarti berikutnya. Di samping itu, istilah “modern” mengisyaratkan penilaian yang cenderung positif. (modern berarti menjadi baik). Padahal dari sudut hakekatnya, zaman modern itu bersifat netral. Meskipun penyebutan zaman sekarang sebagai “zaman modern” merupakan konvensi yang salah kaprah, tetapi kita terlanjur menerimanya begitu saja. Secara hakiki zaman sekarang lebih tepat disebut sebagai zaman teknik (technical age). Alasan ini didasarkan pada peran sentral teknik serta bentuk-bentuk kemasyarakatannya yang terkait dengan teknikalisme. Wujud keterkaitan antarsegi-teknologis diacu sebagai dorongan yang besar pertama umat manusia memasuki zaman sekarang ini, yakni Revolusi industri dan Renaisans di Prancis.[9]
            Aufklarung sebagaimana dilansir Foucalat adalah sebuah periode yang menciptakan visi, ajaran, dan aturan sendiri. Ia adalahsebuah periode yang mampu menuturkan sejarah umum pemikiran serta bentuk-bentuk pengetahuan, kedunguan, dan ilusi yang memungkinkan manusia menyadari situasi historis yang dihidupinya.

B.     Gejala dan Definisi Modernisasi
Secara harfiah, istilah modern mengacu kepada pengertian “sekarang ini”. Istilah ini dianggap sebagai lawan dari istilah ancient atau traditional. Dengan demikian, kedua istilah itu merupakan tipe ideal dari dua tatanan masyarakat yang berbeda. Pada tertentu yang ditemui sekarang ini. Dalam pengertian ancient atau traditional, mencakup “pengertian sisa” (residual sense) dari ciri-ciri masyarakat modern. Istilah modern kemudian berkembang menjadi salah satu istilah teknis akademis. Perkembangan istilah tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah Peradaban Eropa. Istilah modern berkaitan erat dengan Eropa abad pertengahan, Renanaisance, Aufklarung, hingga mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan ke-20.[10] 
Batasan modernisasi tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan. Keuntungannya adalah kemudahan dalam mengukur tingkat perkembangan manusia. Indikator perkembangan dari modernisasi masyarakat tersebut memungkinkan semua masyarakat yang dikenal ditempatkan pada suatu garis lanjut (continum) menurut besar-kecilnya modernisasi. Dalam hubungan ini, indikator dari modernisasi masyarakat tidak dipandang sebagai faktor kausal dari proses modernisasi masyarakat, tetapi hanya sebagai salah satu unsur yang secara empiris selalu merupakan bagian integral dari proses modenisasi. Kelemahannya terletak pada ketidakmampuan menjabarkan proses modernisasi secara keseluruhan. Dengan membatasi pada salah satu indikator modernisasi, sulit menentukan apakah indikator itu merupakan unsur yang mutlak dari proses modernisasi ataukah hanya salah satu faktor yang secara kebetulan selalu menyertai proses modernisasi hingga sekarang.[11]
Proses modernisasi dan bentuk modernisasi yang dicapai oleh setiap masyarakat akan berbeda-beda. Berdasarkan luasnya gejala modernisasi, masing-masing disiplin ilmu sosial telah memusatkan perhatian pada unsur-unsur yang berbeda dari proses modernisasi. Modernisasi berarti pula tumbuhnya kompleks industri yang besar, tempat barang konsumsi dan produksi dihasilkan secara massal. Adanya kompleks industri mengimplikasikan tentang adanya organisasi yang kompleks guna mendirikan, menyelenggarakan, dan mengembangkan aparat produksi dan untuk mengadakan pembelian bahan baku serta pemasaran produksinya.[12]

C.    Beberapa Pandangan Tentang Proses Modernisasi
            Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa modernisasi ditentukan oleh adanya sikap-sikap modern tertentu. Dengan perkataan lain, sikap-sikap modern merupakan prasyarat bagi keberhasilan proses modernisasi. Pandangan ini diwakili oleh David McClelland dan Max Weber[13].[14]
            Kedua, Gerschenkron mengusulkan prinsip “keluwesan” (substitutalibility). Nilai-nilai yang pada umumnya dipandang tradisional dapat mempercepat modernisasi sangat bergantung pada konteks social dan untuk apa nilai-nilai itu digunakan.
            Cikal bakal modernisasi berasal dari munculnya gerakan pemikiran abad pertengahan – yang disebut sebagai Zaman Pencerahan – yang membawa implikasi perubahan mendasar hampir dalam semua kehidupan manusia. Disisi lain terjadi krisis global yang tidak diharapkan dalam kehidupan social: munculnya dekadensi moral dan kekacauan kemanusiaan yang melahirkan manusia merampas hak orang lain dan tidak mempedulikan nasib manusia yang lainnya. Capra, dalam bukunya Titik Balik Peradaban (1980), menulis: “Banyak kejadian yang tragis dan paradoks di dunia ini, misalnya berjuta-juta anak yang kekurangan makan dan bergizi buruk; sementara perlombaan senjata yang menelan dana jutaan dolar menjadi prioritas utama dalam anggaran belanja Negara-negara sedang berkembang. Ini merupakan kenyataan paradoks yang melanda hampir di semua Negara pada masa modernisasi mulai berjalan.”[15]
            Sebagai penerapan ilmu pengetahuan dalam setiap aspek kehidupan, modernisasi berakar pada kesadaran abad sebelumnya (abad ke-14), yang disebut sebagai “Abad Pencerahan”. Semboyannya adalah “Beranilah Berpikir Sendiri”. Sikap umum manusia produk “Abad Pencerahan” terhadap agama kurang bersahabat.[16]

Modernitas: Proyek yang belum selesai
            Habermas[17] (1987) melihat modernitas sebagai “proyek yang belum selesai” dalam arti masih banyak yang harus dikerjakan dalam kehidupan modern sebelum kita mulai berpikir mengenai kemungkinan post-modern (Outhwaite, 2000: Scamber, 1996).[18]
            Habermas (1986: 96) menganggap modernitas berbeda dengan dirinya sendiri. Maksudnya adalah bahwa rasionalitas (sebagian besar rasionalitas formal) yang mencirikan sistem sosial berbeda dan bertentangan dengan rasionalitas yang menandai kehidupan sehari-hari. Sistem sosial berkembang semakin kompleks, terdiferensiasi, terintegrasi, dan ditandai oleh pertimbangan instrumental. Kehidupan – dunia juga telah menyaksikan peningkatan diferensiasi dan kondensasi (tetapi dari basis pengetahuan dan ruang nilai dari kebenaran, kebaikan, dan keindahan), sekularisasi dan institusionalisasi norma refleksi dan kritik (Seidman, 1989: 24) rasional akan menjadi sebuah masyarakat di mana sistem dan kehidupan – dunia mungkin akan menjadi rasional menurut caranya sendiri, mengikuti logikanya sendiri. Rasionalitas sistem dan kehidupan – dunia dapat menimbulkan kemakmuran dan pengendalian terhadap lingkungannya sebagai akibat dari sistem rasional dan sistem kebenaran, kebajikan dan keindahan yang berasal dari kehidupan – dunia yang rasional. Namun dalam kehidupan modern, sistem menjadi dominan dan menjajah kehidupan – dominan. Akibatnya adalah bahwa meski kita menikmati buah sistem rasionalisasi, kita terampas dari kekayaan kehidupan yang berasal dari kehidupan – dunia yang mungkin berkembang.[19]
            Lalu bagaimana gambaran Habermas menurut kebanyakan teoritisi belum selesai itu? Jelas, produk akhirnya adalah masyarakat rasional penuh di mana baik sistem maupun rasionalitas kehidupan – dunia dimungkinkn untuk mengungkapkan dirinya sendiri sepenuhnya tanpa yang satu menghancurkan yang lain. Kita kini menderita pemiskinan kehidupan – dunia dan masalah itu harus diatasi. Namun, jawabannya tak terletak pada penghancuran sistem (terutama sistem ekonomi dan administrasi), karena sistem itulah yang menyediakan persyaratan material yang diperlukan untuk memungkinkan kehidupan – dunia menjadi rasional.[20]
D.    Globalisasi dan Dampaknya
            Menurut Luhmann, globalisasi dan modernisasi itu sangat dekat hubungannya sehingga membicarakan globalisasi dunia, orang tidak bisa lupa membicarakan semakin modernnya dunia. Modernisasi dunia, kata Luhmann merupakan akibat signifikan dan westernisasi yang digelar oleh Negara-negara kapitalis sekalipun membawa problem sendiri seperti adanya perbedaan Negara dan integrasinya, sehingga yang dibutuhkan dalam transformasi masyarakat adalah perlunya jaringan komunikasi yang memadai dan berlangsung terus-menerus.[21]
            Dari globalisme memunculkan apa yang dinamakan Neoliberalisme. Neoliberalisme sendiri merupakan istilah yang belakangan ramai diperdebatkan. Neoliberalisme merupakan kelanjutan dari liberalisme ekonomi yang berlandaskan pada penjajahan non fisik pada Negara-negara di Selatan, utamanya oleh Negara-negara di Utara. Negara-negara di Selatan adalah Negara penghutang, sementara Negara di Utara adalah pemberi utang.[22]

Tempat Agama
            Dimana tempat agama ketika globalisasi dan neoliberalisme menghantam Indonesia?
Pertama, agama akan menjadi penghalang utama adanya globalisme dan neoliberalisme karena pada prinsipnya agama tidak mengajarkan adanya hidup berlebihan. Berlebihan dalam konsumsi dan berkarakter yang menjadi ciri khas globalisme dan neoliberalisme merupakan musuh utama agama (Islam). Ini jelas menjadi rujukan yang dapat dicarikan referensinya dan normatif agama (Islam). Orang yang dalam beragama benar-benar mengamalkan dan mengikuti petunjuk kitan suci tidak akan mudah tergelincir dalam tarian globalisme dan neoliberalisme.[23]
            Kedua, agama akan bersifat kritis atas globalisme dan neoliberalisme sebab agama sebenarnya memiliki elan vital untuk melakukan “perlawanan” atas hal-hal yang dianggap kurang berpihak pada kelompok terpinggirkan, mustadafin dan tidak beruntung. Paham ini meyakini bahwa agama dengan kekuatan revolusionernya akan mampu melakukan kritik atas perkembangan globalisme dan neoliberalisme dalam dunia ini, termasuk di Indonesia.
            Ketiga, agama (Islam) di Indonesia akan mendukung lajur globalisme dan neoliberalisme karena agama yang berkembang adalah paham agama yang menempatkan bahwa globalisme dan neoliberalisme merupakan bagian dari sunatullah alias tidak mungkin ditolak kehadirannya.[24] Bahkan elit agama akan mencarikan dasa-dasar legitimasinya tentang globalisme dan neoliberalisme sebagai sumber keberkahan.
            Tiga perspektif yang penulis (Dr. Zuly Qodir) kemukakan tentang kemungkinan posisi agama dalam globalisme dan neoliberalisme akan memperpanjang daftar apakah agama di Indonesia akan benar-benar bermartabat dan bermanfaat untuk umat atau tidak akan sangat tergantung pada pilihan paham yang akan dikembangkan oleh elit agama dan kemudian umat beragama secara keseluruhan. Hanya saja, Dr. Zuly berpendapat bahwa kemungkinan yang akan berkembang dalam era globalisme dan neoliberalisme sebab dalam banyak kasus, agama di Indonesia lebih cenderung mewakili kelompok sejahtera dan elit ketimbang kelompok kere dan mustadafin (kelompok tertindas di Indonesia).[25]
           











BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
            Secara harfiah, istilah Modernisasi mengacu kepada pengertian sekarang ini. Istilah ini dianggap sebagai lawan dari istilah tradisional. Dengan demikian kedua istilah ini merupakan tipe ideal dari dua tatanan masyarakat yang berbeda.
 Dilihat dari spesifik Islam, terjadinya alienasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari modernitas tersebut merupakan suatu hal yang wajar. Karena modernitas yang kita hayati dalam kehidupan sehari-hari ini adalah diimpor dari dunia barat yang memiliki sistem nilai logika dan perkembangan tersendiri yang di dalamnya terdapat unsur yang sinkron dan saling melengkapi yang bersifat universal.
Agama dilain pihak dipandang tidak mampu melerai konflik-konflik maupun dis-organisasi sosial. Namun sebaliknya harus dipahami pula bahwa satu sisi agamalah yang diharapkan bisa memainkan peranan positif aktifnya dalam mengerem perilaku serakah, brutal dan mengancam kehidupan yang bertatanan  ketuhanan, kemanusiaan dan transendental dalam menuju dunia yang damai dan berperadaban. Disinilah letak peran penting pemimpin agama untuk dapat menginterpretasi agama dari berbagai sudut pandang, rasional, universal yang sesuai dengan kebutuhan umat manusia dan zaman hingga agama tidaklah dipandang sebagai momok penghalang dari era modern ini.











DAFTAR PUSTAKA

Buku:
            Qodir, Zuly. 2011. Sosiologi Agama Esai-esai Agama Di Ruang Publik, Yogyakarta: PUSTAKA BELAJAR.
Kahmad, Dadang. 2009. Sosiologi Agama. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
Kahmad, Dadang. 2011. Sosiologi Agama (Potret Agama dalam Dinamika Konflik, Pluralisme, dan Modernitas). Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
            Ritzer, George & J. Goodman, Douglas (Terj. Alimandan). 2004. Teori Sosiologi Modern (Ed.6). Jakarta: Kencana.
            Robertson, Roland. (terj, Achmad Fedyani Saifuddin). 1995. Sociology of religion. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Biografi Tokoh:
            George Ritzer & Douglas J. Goodman (Terj. Alimandan), Teori Sosiologi Modern (Ed.6), Jakarta: Kencana, 2004, hlm. 578
            Texts.cdlib.org/view?docId=hb9k4009c78&doc.view=frames&chunk.id=div00039&toc.id= diakses pada tanggal 08 Maret 2016 pukul 23.25 WIB
            www.biografiku.com/2011/03/biografi-max-weber.html?m=1 diakses pada tanggal 08 Maret 2016 pukul 21.13 WIB.









[1] Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si, Sosiologi Agama (Potret Agama dalam Dinamika Konflik, Pluralisme, dan Modernitas), Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2011, hlm. 61
[2] Ibid., hlm. 62
[3] Ibid., hlm. 62
[4] Dr. Thomas F. O’Dea died on November 12, 1974. He had previously served on the faculties of the Massachusetts Institute of Technology (1951-56), Fordham University (1956-59), The University of Utah (1959-64), and Columbia University (1964-66). He joined the UCSB Faculty as Professor of sociology and religious studies.
[5] Op. Cit., Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si, hlm.65
[6] Roland Robertson (terj, Achmad Fedyani Saifuddin), Sociology of religion, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, hlm.247
[7] Ibid., hlm. 247
[8] Ibid., hlm. 248
[9] Op. Cit., Roland Robertson, hlm. 67
[10] Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si, Sosiologi Agama, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2009, hlm. 184-185
[11] Ibid., hlm. 188
[12] Ibid., hlm. 189
[13] Max Weber lahir di Erfurt, Jerman 21 April 1864. Beliau terkenal dengan teori-teori sosialnya, Ia ahli sosiologi, ekonomi serta sejarah dari Jerman.
[14] Op. Cit., Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si, hlm. 192
[15] Ibid., hlm. 194
[16] Ibid., hlm. 195
[17] Habermas adalah seorang pemikir sosial yang sangat penting di dunia dewasa ini. Lahir di Dusseldorf, Jerman 18 Juni 1929. Habermas mendapat gelar Doktor dari Universitas Bonn tahun 1954, ia pernah bergabung dengan The Institute for Social Research.
[18] George Ritzer & Douglas J. Goodman (Terj. Alimandan), Teori Sosiologi Modern (Ed.6), Jakarta: Kencana, 2004, hlm. 577
[19] Ibid., hlm. 577-599
[20] Ibid., hlm. 580
[21] Dr. Zuly Qodir, Sosiologi Agama Esai-esai Agama Di Ruang Publik, Yogyakarta: PUSTAKA BELAJAR, 2011, hlm. 7
[22] Ibid., hlm. 11
[23] Ibid., hlm. 16
[24] Ibid., hlm. 17
[25] Ibid., hlm. 18
      edit
Comments
0 Comments