Agama dan Stratifikasi Masyaraka
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di
zaman yang sekarang ini, banyak sekali orang yang memeluk agama islam,
khususnya di daerah tercinta kita ini, Indonesia. Agama Islam adalah agama
mayoritas yang di peluk oleh orang-orang Indonesia. Tetapi banyak dari mereka
yang belum sepenuhnya memakai aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama Islam
ini sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Baik yang berhubungan dengan Allah
maupun yang berhubungan dengan manusia.
Dari perkara di atas kami akan mencoba
membahas yang berhubungan dengan manusia. Berbicara tentang hubungan antar
manusia ini, tidak akan bisa lepas dari bagaimana seseorang bersikap setiap
harinya, bagaimana orang tersebut bersikap terhadap orang-orang lain di
sekitarnya. Dalam masyarakat pasti banyak macam-macamnya, karena seseorang
tidak mungkin sama dengan orang yang lainnya, baik berupa sikap, perilaku,
keadaan ekonomi, jabatan maupun etnisnya.
Banyak
masyarakat kita yang masih membeda-bedakan antara bersikap terhadap terhadap
orang yang kaya, orang yang ditokohkan atau memiliki jabatan, dan orang yang
keadannya biasa-biasa saja atau bahkan orang yang serba kurang baik berupa
materi, keilmuan dan keagamaan. Padahal dalam Islam sendiri kita tidak
diperbolehkan untuk membeda-bedakan antara orang satu dengan orang yang lain.
Di al-Quran sudah jelas difirmankan bahwa antar manusia tidak ada bedanya
keuali masalah ketaannya terhadap Tuhannya yang lebih dikenal orang Islam
dengan nama Allah.
Oleh
karena itu penulis akan membahas bagaimana Islam mengatur masalah bagaimana
bersikap terhadap orang lain disekitar dan bagaimana realitas yang terjadi di
sekitar kita yang berhubungan dengan stratifikasi masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Stratifikasi Sosial itu?
2.
Bagaimana
agama terhadap stratifikasi sosial?
C. PEMBAHASAN
1. Pandangan Agama terhadap Stratifikasi Sosial
a. Pengertian Stratifikasi Sosial
Abrahamson berpendapat, bahwa teori
stratifikasi sosial dari Weber, sebenarnya merupakan suatu tanggapan terhadap
ajaran-ajaran Marx mengenai masalah tersebut. Salah satu pokok permasalahannya
adalah mengenai dimensi-dimensi stratifikasi sosial, yakni dimensi ekonomis,
sosial dan politis. Weber berpendapat, bahwa di dalam setiap tertib,
warga-warga masyarakat terbagi dalam kelas-kelas (ekonomis), kelompok status
(sosial), dan partai-partai (politis). Hubungan antara ketiganya bersifat
timbal - balik; Marxmenganggap, bahwa dimensi ekonomis yang menentukan
dimensi-dimensi lainnya. Uraian dibawah ini akan mempermasalahkan hal-hal
tersebut. (Mark Abrahamson 1987 : 112).[1]
Weber maupun marx memandang bentuk stratifikasi
sosial sebagai gejala yang bervariasi dalam lintasan sejarah. Keduanya mengakui
, bahwa stratifikasi sosial merupakan pencerminan dari organisasi sosial suatu
masyarakat. Bervariasinya adalah sesuai dengan kemungkinan terjadinya perubahan
pada fungsinya dalam organisasi sosial tersebut. Kedudukan dan peranan dari
buruh tani merupakan suatu contoh dari persamaan serta perbedaan antara teori
Weber dengan Marx. Sebagai golongan yang hanya mampu untukmenjual tenaga dan
jasa, maka mereka berada pada posisi yang rendah. Weber juga memberikan
perhatian pada posisi rendahnya sebagai kelompok status.[2]
Stratifikasi sosial, pelapisan sosial,
atau struktur sosial vertikal adalah penggambaran kelompok-kelompok sosial
dalam susunan yang hierarkhis, berjenjang. Ditingkat teoritik acap ditanyakan
mengapa dalam masyarakat terjadi pelapisan-pelapisan? Jawaban yang sederhana
adalah: karena kehidupan manusia dilekati oleh nilai. Hewan tidak memiliki
perasaan terhina, ternista, diremehkan. Manusia memilikinya karena mereka
penyandang nilai. Keberadaan nilai selalu mengandung kelangkaan, tidakmudah
didapat dan oleh karenanya memberi “harga” pada penyandangnya. Siapa yang
memperoleh lebih banyak “ hal yang bernilai” semakin terpandang dan tinggi
kedudukannya. Apa yang dipandang bernilai tinggi dalam kehidupan manusia
tidaklah sama pada setiap masyarakat. Secara umum hal-hal yang mengandung nilai
berkaitan dengan harta atau keyakinan, jenis mata pencaharian, pengetahuan atau
pendidikan, eturunan, keagamaan dan dalam masyarakat yang masih bersahaja juga
unsur-unsur biologis (jenis kelamin, usia). Bagimasyarakat desa (pertanian)
yang dipandang bernilai adalah lahan pertanian. Maka seberapa besar pemilikan
atau penguasaan seseorangterhadap lahan pertanian akan menentukan seberapa tinggi
kedudukannya ditengah masyarakat mereka.
1) Struktur Biososial
Keterkaitan
antara faktor biologis dan struktur sosial vertikal (stratifikasi sosial) dapat
ditunjukkan lewat sifat mata pencaharian masyarakatbersangkutan. Dalam
masyarakat yang masih bersahaja, yakni dari ketika masyarakat masih dalam
tingkat food gathering economis (hunting, fishing, meramu) sampai pada
ketika mereka telah mengalami era pertanian (tradisional), masyarakat manusia
masih mengandalkan kepada kekuatan pisik dan pengalaman.[3]
2) Desa Satu Kelas dan Dua Kelas
Smith
dan zopf tahun (1970) mengemukakan adanya dua tipe desa, yakni apa yang dia
sebut one class system (tipe satu kelas) dan two class system (tipe
dua kelas) secara garis besarnya desa
tipe satu kelas dapat digambarkan sebagai tipe desa yang pemilikan lahan
pertanian warganya rata-rata sama. Perbedaan yang ada tidak bersifat senjang.
Sedangkan desa tipe dua-kelas secara garis besarnya digambarkan sebagai dea
yang didalamnya terdapat sejumlahkecil warga yang mempunyai lahan yang amat
luas, dan selebihnya dalam jumlah besar merupakan warga yang tidak memiliki
lahan pertanian.[4]
3) Dimensi-dimensi Pelapisan Sosial
Sutardjo
kartohadikoesoemo memberikan gambaran tentang penggolongan masyarakatdesa
dijawa yang berlandaskan pemilikan tanah sebagai berikut:
a) Warga bau, adalah warga desa yang
memiliki tanah pertanian, rumah dan tanah pekarangan (orang baku, sikep,
gogol kenceng, kuli/wong kenceng)
b) Warga desa yang mempunyai rumah diatas
pekarangan (lindung, angguran kampung, kuli, sikep mburi/sikep nomor dua,
wong setengah kenceng ).
c) Warga desa yang mempunyai rumah diatas
pekarangan orang lain (wong dempel, menumpang, numpang karang).
d) Warga desa yang kawin dan mondok dirumah
orang lain, orang-orang tua, penganten baru, orang baru (rangkepan,
kumpulan, nusup, kempitan).
e) Pemuda yang belumkawin (joko,sinoman).
Didalam bukunya, Sutardjo tidak
menyebutkan penggolongannya itu sebagai pelapisan sosial. Namun secara
substansional jelas memperlihatkan bentuknya sebagai suatu stratifikasi sosial.
Pelapisan sosial masyarakat desa (Jawa)
yang didasarkan atas pemilikan atau penguasaan tanah sebagaimana digambarkan
soetardjo Kartohadikoesoemoitu juga dikemukakan oleh pakar lainnya. M. Jaspan
(1961:12) menggambarkan adanya empat pelapisan sosial yang terdapat dikalangan
masyarakat desa didaerah Yogyakarta.
1) Kuli keceng, yakni
mereka yang memilikitanah pekarangan dan sawah,
2) Kuli gundul, yakni
mereka yang hanya memiliki sawah,
3) Kuli karangkopek, yakni
mereka yang mempunyai pekarangan saja, dan
4) Indung tlosor, yakni
mereka yang memiliki rumah saja diatas tanah orang lain.
Menurut ter Haar (1960), pelapisan
sosial masyarakat desa itu dibedakan atas:
1) Golongan pribumi pemilik tanah (sikep,
kuli, baku, atau gogol),
2) Golongan yang hanya memiliki rumah dan
pekarangan saja atau tanah pertanian saja (indung atau lindung),
3) Golongan yang hanya memiliki rumah saja
di atas tanah pekarangan orang lain, dan mencari nafkah sendiri (numpang).
Sedangkan menurut Koentjaraningrat
(1964) pelapisan sosial masyarakat desa digambarkan sebagai berikut:
1) Keturunan cikal bakal desa dan pemilik tanah
(kentol),
2) Pemilik tanah diluar golongan kentol
(kuli),
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai
penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang
bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan
menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya.
Kalau suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan materiil daripada kehormatan,
misalnya, mereka yang lebih banyak kekayaan materiil akan menempati kedudukan yang
lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-pihak lain. Gejala tersebut
menimbulkan lapisan masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau
suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal.[6]
Menurut Pitirim A. Sorokin, Bentuk-bentuk
lapisan masyarakat berbeda-beda dan banyak sekali. Lapisan-lapisan tersebut
tetap ada, sekalipun dalam masyarakat kapitalis, demokratis, komunistis dan
lain swbagainya. Lapisan masyarakat tadi mulai ada sejak manusia mengenal
adanya kehidupan bersama di dalam suatu organisasi sosial. Misalnya pada
masyarakat-masyarakat yang bertaraf kebudayaan masih bersahaja. Lapisan
masyarakat mula-mula didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara pemimpin
dan yang dipimpin, golongan buangan/budak dan yang bukan buangan/budak,
pembagian kerja, dan bahnkan juga suatu penbedaan berdasarkan kekayaan. Semakin
rumit dan semakin maju teknologi sesuatu masyarakat, semakin kompleks pula
sistem lapisan masyarakat.[7]
Sistem berlapis-lapis dalam sosiologi
dikenal sebagai “Social Stratification”, yang berasal dari kata :Stratum
yang kalau jamaknya strata =lapisan. Menurut Pitirim A. Sorokin yang dimaksud
dengan Social Stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat (hirearkis). Dimana perwujudannya adalah
lapisa-lapisan atau kelas-kelas tinggi, sedang ataupun kelas-kelas yang rendah.[8]
b. Tipe Sistem Lapisan Sosial
Ada dua tipe sistem lapisan sosial,
yaitu:[9]
1) Dapat terjadi dengan sendirinya
berbarengan dengan proses pertumbuhan masyarakat itu sendiri.
Faktor-faktor
penyebabnya adalah seperti tingkat umur (senioritas), sifat keaslian
keanggotaan kerabat pimpinan masyarakat atau mungkin juga harta benda dalam
batas-batas tertentu
2) Sengaja disusun untuk mengejar tujuan
bersama yang diinginkan oleh sejumlah anggota masyarakat.
Karena
pada dasarnya untuk mnengejar suatu tujuan bersama, ini biasanya dilakukan
terhadap pembagian wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi formil.
Misalnya di bidang pemerintahan, partai politik, dan sebagainya.
c. Sifat Sistem lapisan Sosial
Sifat sistem lapisan masyarakat[10]
1) Bersifat tertutup (closed social
stratification)
Dikatakan
demikian karena disini tidak memungkinkan pindahnya seseorang dari satu lapisan
ke lapisan yang lain secara vertikal maupun horisontal. Dalam sistem seperti
ini satu-satunya jalan untuk menjadi anggota dari lapisan yang lain dalam
masyarakat adalah karena kelahiran.
2) Bersifat terbuka (open social
stratification)
Dimana
setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berusaha denga kemampuannya untuk
naik menempati lapisan atas. Atau mereka yang kurang beruntung bisa jatuh dari
lapisan atas ke lapisan bawahnya. Contohnya anak-anak petani yang oleh karena
pendidikan formal, dapat menempati posisi atau kedudukan yang baik di dalam
masyarakat.
Ukuran-ukuran yang biasa dipakai untuk
menggolongkan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan adalah :[11]
1) Ukuran kekayaan
Barang
siapa yang memiliki kekayaan yang palin banyak termasuk dalam pelapisan
teratas. kekayaan tersebut ,misalnya ,dapat dilihat dari bentuk rumah yang
bersangkutan,mobil pribadinya, cara-caranya mempergunakan pakaian serta bahan
pakaian yang dipakainya.
2) Ukuran kekuasaan
Barang
siapa yang memiliki kekuasaan atau yang mnpinyai wewenang terbesar menempati
lapisan atasan.
3) Ukuran kehormatan
Ukuran
kehormatan tersebut mungkin terlepas ari ukuran-ukuran kekayaan dan/atau
kekuasaan. Orang yang pa;ing disegani dan dihormati , mendpat tempat yang
teatas. Ukuran semacam ini, bayak dijumpai pada mansyarakat-masyarakat tradisional.
Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.
4) Ukuran ilmu pengetahuan
Ilmu
pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masyrakat yang menghargai ilmu
pengetahuan. Akan tetapi, ukuran tersebut kadang-kadang menyebabkan terjadinya
akibat-akubat yang negatif karna ternyata bahwa bukan mutu ilmu pengetahuan
yang dijadikan ukuran, tetapi gelar kesarjanaannya. Sudah tentu hal yang
demikian memacu segala macam usaha untuk mendapat gelar walaupun tidak halal.
d. Unsur – Unsur Lapisan masyarakat
Unsur – unsur lapisan masyarakat[12]
1) Kedudukan (status)
Kedudukan merupakan tempat seseorang
dalam suatu pola tertentu, dan seseorang dapat memiliki beberapa kedudukan. Ada
dua macam kedudukan yang dikembangkan dalam masyarakat, yaitu:
a) Ascribed status: kedudukan seseorang
dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniyah dan
kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran.
b) Achieved status: kedudukan yang dicapai
oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh
atas dasar kelahiran, tetapi bersifat terbuka bagi siapa saja, tergantung dari
kemampuan masing-masing dalam mengejar dan mencapai tujuan-tujuannya.
c) Kadang-kadang dibedakan lagi satu macam
kedudukan, yaitu assigned status yang merupakan kedudukan yang diberikan.
Assigned status tersebut sering mempunyai hubungan yang erat dengan achieved
status, dalam arti bahwa suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang
lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu
untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
2) Peranan (role)
Peranan merupakan aspek dinamis dari
kedudukan, yaitu seseorang yang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya. Suatu
peranan mencakup paling sedikit tiga hal berikut ini:
a) Peranan meliputi norma-norma yang
dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat.
b) Peranan merupakan suatu konsep perihal
apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c) Peranan juga dapat dikatakan sebagai
perilaku individu yang penting bagi struktur sosial.
e. Karakteristik Stratifikasi Sosial
Secara
rinci, ada tiga aspek yang merupakan karakteristik stratifikasi sosial, yaitu:[13]
1) Perbedaan dalam kemampuan atau
kesanggupan anggota masyarakat yang menduduki strata tinggi tentu memiliki
kesanggupan dan kemampuan yang lebih besar dibandingka anggota masyarakat yang
dibawahnya. Contoh: berbeda dengan golongan IV yang kebanyakan mampu membeli
mobil, akibat keterbatasan gaji yang diperolehnya seseorang pegawai negeri
golongan satu dan dua tentu hanya akan sanggup membeli sepeda atau sepeda motor
saja.
2) Perbedaan dalam gaya hidup (life style).
Seorang direktur sebuah perusahaan, selain dituntut selalu berpakaian rapi,
mereka biasanya juga melengkapi atribut penampilannya dengan
aksesoris-aksesoris selain untuk menunjang kemantapan penampilan seperti
memakai dasi, bersepatu mahal, berolahlaga tenis atau golf, memakai pakaian
merek terkenal, perlengkapan lain yang sesuai dengan statusnya. Seorang
direktur perusahaan besar yang berpakaian kumal besar akan menjadi
perguncingan. Sebaliknya, seorang bawahan yang berperilaku seolah-olah direktur
tentu juga akan menjadi bahan cemoohan.
3) Perbedaan dalam hak dan akses dalam
memanfaatkan sumber daya. Seseorang yang memiliki jabatan tinggi biasanya akan
semakin banyak hak dan fasilitas yang diperolehnya. Sementara itu, seseorang
yang tidak menduduki jabatan strategis apapun tentu hak dan fasilitas yang
mampu dinikmati akan semakin kecil. Seorang kepala bagian, misalnya, selain
bergaji besar dan memiliki ruangan sendiri, mereka juga berhak untuk memerintah
stafnya. Bandingkan dengan hak dan fasilitas apa saja yang dimiliki bawahannya?
Sejauh mana hak dan fasilitas antara keduanya berbeda?. Di dalam berbagai
perusahaan swasta, biasanya kita akan menemui adanya ketentuan tertulis yang
mengatur apa saja yang menjadi hak atasan dan apa pula yang menjadi hak bawahan.
Kendati sama-sama bekerja di sebuah perusahaan, bila seorang kepala kepala
bagian sakit dan harus opname di rumah sakit, maka ia akan berhak menginap di
kamar yang baik-katakanlah kelas I. Sedangkan bila ada seorang staf yang sakit,
mungkin perusahaan hanya mau mengganti maksimal biaya nginap di kelas III atau
sekurang-kurangnya tidak mungkin sama dengan yang menjadi hak kepala bagian.
f. Terjadinya Stratifikasi Sosial
Terjadinya
stratifikasi sosial atau sistem pelapisan masyarakat dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu sistem pelapisan yang terjadi sendirinya artinya tanpa di
sengaja, dan sistem pelapisan yang terjadi karena dengan sengaja disusun untuk
mencapai tujuan tertentu.
Lapisan-lapisan dalam masyarakat yang terjadi dengan
sendirinya atau tidak disengaja misalnya lapisan yang didasarkan pada umur,
jenis kelamin, kepandaian, sifat keaslian keanggotaan kerabat kepala
masyarakat, mungkin dalam batas-batas tertentu berdasarkan harta.
Sedangkan
sistem lapisan dalam masyarakat yang sengaja disusun untuk mencapai tujuan
tertentu biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi
dalam organisasi formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politi,
angkatan bersenjata dan sebagainya. Kekuasaan dan wewenang itu merupakan suatu
unsur khusus dalam sistem pelapisan masyarakat yang memiliki sifat lain
daripada uang, tanah, dan benda ekonomis lainnya, ilmu pengetahuan dan
sebagainya. Hal ini disebabkan uang, dan sejenisnya dapat dibagi secara bebas dalam
masyarakat tanpa merusak keutuhan masyarakat.[14]
2. Hubungan Agama dan Stratifikasi Sosial
Agama
dan stratifikasi sosial adalah dua hal yang berbeda. Walaupun demikian,
membicarakan keduanya dalam satu bahasan atau topik, tetap akan mempunyai
aspek-aspek positif dalam kajian akademis, bahkan lebih jauh bisa menemukan
hal-hal baru dalam keagamaan. Pernyataan ini tidak dapat lepas dari anggapan
bahwa agama dan masyarakat dalam pengertian ,apisan sosial diduga sebagai dua
unsur yang saling mempengaruhi satyu sama lain.[15]
Dalam
tulisan ini agama didefinisikn sebagai sistem kepercayaan, yang di dalamnya
meliputi aspek-aspek hukum, moral, budaya dan sebagainya. Sedangkan lapisan
ssosial dipahami sebagai strata orang-orng yang berkedudukan sama dalam
kontinum (rangkaian satuan) status sosial. Tetapi, Horton dan Hunt menegaskan
bahwa jika ditanya berapa banyak jumlah kelas sosial, mereka sulit menjawabnya.
Barangkali, enam klasifikasi yang diaujukan oleh banyak ahli bisa menjadi
jawaban, yaitu (1) upper class; (2) lower upper class; (3) upper
middle class; (4) lower middle class; (5) upper lower class dan
(6) lower lower class.[16]
Klasifikasi
sosial di atas, tentu tidak berlaku umum, sebab setiap kota ataupun desa
masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-bada. Pernnyataan ini paling
tidak, menggambarkan bagaiman kelas sosial sebenarnya. Maka disini bisa
ditegaskan bahwa kelas sosial merupakan suatu realitas sosial yang penting.
Bukan sekedar suatu konsep teoritis. Manusia memang mengklasifikasikan orang
lain ke dalam kelompok yang sederajat, lebih tinggi atau lebih rendah. Manakala
jumlah orang menganggap orang-orang tertentu sebagai anggota masyarakat
mempunyai karakteristik perilaku tertentu pada golirannya menciptakan kelas
sosial.[17]
Agama
dan stratifikasi sosial memiliki hubungan yang mengandung multiinterpretasi.
Penelitian Webber, misalnya, menyatakan bahwa kelas menengah rendah dianggap
memiliki peranan strategis dalam sejarah agama Kristen. Lebih lanjut Webber
menyimpulkan bahwa stratifikasi sosial dianggap sebagai faktor yang menentukan
kecenderungan-kecenderungan keagamaan dan orientasinya. Tak heran, jikaWebber
menyimpulkan bahwa kelas-kelas yang secara ekonomis paling tidak mampu, seperti
para budak dan buruh harian, tidak akan pernah bertindak sebagai pembawa
panji-panji agama tertentu.[18]
Hubungan
lain dari agama dan stratifikasi sosial adalah konversi atau berallih agama,
dari agama tertentu kepada agama lain. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
seseorang pindah agama, antara lain, faktor ekonomi dan faktor sosial. Ernest
Troeltsch mengungkapkan bahwa sebagian besar yang beralih ke agama kristen
berasal dari kelas menengah bawah yang hidup di kota-kota besar, yang menikmati
peralihan peningkatan ekonomi yang terjadi secara lamban pada waktu itu.[19]
D. Analisis Data
1. Stratifikasi Sosial pada Masyarakat
Kauman Ngembal Rejo
Stratifikasi juga
berlaku pada masyarakat kita, terutama pada masyarakat Kauman, Ngembal Rejo. Memang perbedaan
lapisan-lapisan masyarakat tidak dapat kita hindari. Itu terbukkti dari
kegiatan yang mereka lakukan sehari-hari, misal: Ketika ada acara perkawinan,
undangan yang datang itu dari golongan masyarakat yang berbeda-beda, ada yang
dari rakyat biasa (golongan menengah kebawah), orang kaya, pejabat, kyai biasa,
kyai besar dan sebagainya. Ketika orang-orang yang diundang ini datang,
tanggapan dari si tuan rumah pasti berbeda-beda. Apabila yang datang aadalah
rakyat biasa (golongan menengah ke bawah) mereka, si tuan rumah akan menyambut
mereka biasa-biasa saja, maksimal dipersilahkan duduk, bahkan mungkin hanya disalami saja. Berbeda bila yang datang
adalah orang yang kaya, pejabat, kyai biasa dan kyai besar (yang memiliki nama
besar/sudah terkenal). Kyai besar yang datang pasti disambut dengan sedemikian
rupa, bahkan cara mempersilahkan duduk pun berbeda. Apabila rakyat biasa
dipersilahkan duduk, paling hanya sampai disitu saja, tidak sampai disediakan
tempat duduk khusus. Tapi kalau kyai yang datang, beliau langsung dicium
tamgannya, diarahkan ke tempat duduk yang sudah dipersiapkan khusus untuknya.
Apabila
dalam sebuah rapat pemuda desa, katakanlah membahas akan diadakannya pengajian,
pendapat dari orang yang ber’uang, kyai, atau pejabat desa pasti lebih
diunggulkan dari pendapat orang-orang yang memiliki keadaan ekonomi menengah
kebawah.
2. Hubungan agama jika dilihat dari stratifikasi
sosial pada masyarakat Kauman Ngembal Rejo
Dari
contoh-ontoh diatas terbukti di sekitar kita stratifikasi sosial yang terjadi
dikalangan orang islam d isekitar kita, tidak dapat dihilangkan. Dalam
pemahaman ini menurut Ustadz an-Nasich pembeda-bedaan yang terjadi yang ada
pada orang islam itu hanya perhormatan terhadap orang-orang yang ber-ilmu,
bukan terhadap orang yang lebih kaya, atau lebih berkuasa. Seperti yang
tercantum dalam kitab-kitab akhlak seperti Kitab Ta’lim dan yang lainnya. Kitab
ini juga membahas bagaimana pentingnya menghormati orang yang ber-ilmu dan cara bersikap kepadanya.
3. Stratifikasi
Sosial pada Masyarakat Kauman Ngembal Rejo menurut Tokoh
Dari realitas
yang ada, ternyata sesuai dengan teori-teori yang dikemukakan oleh Tokoh-tokoh
pemikir dalam bidang Sosiologi, seperti yang dikemukakan oleh Weber yaitu “di
dalam setiap tertib, warga-warga masyarakat terbagi dalam kelas-kelas
(ekonomis), kelompok status (sosial), dan partai-partai (politis). Hubungan
antara ketiganya bersifat timbal - balik; Marx menganggap, bahwa dimensi
ekonomis yang menentukan dimensi-dimensi lainnya.
Dengan realitas
yang ada pada masyarakat Kauman, sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Webber bahwa agama itu etis yang rasional. Maksudnya ada norma, aturan, etika
yang berkembang sebagai penghormatan terhadap orang- orang yang lebih tinggi
dari segi kedudukan dan peranannya.
E.
Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa teori-teori yang dikemukakan oleh
para pemikir sosiologi sesuai dengan keadaan masyarakat indonesia khususnya di
daerah kauman tetapi kesesuaian ini tidak sepenuhnya karena lapisan-lapisan
yang ada di masyarakat itu hanya mencakup perbedaannya saja ,tetapi, dari segi
sosialisasi kemasyarakatan ,orang-orang ini tidak membeda-bedakan antara orang
satu dengan yang lain. Dengan bukti orang yang kaya tidak hanya berinteraksi
dengan orang kaya saja, tetapi juga berinteraksi dengan orang-orang yang di
nilai kurang mampu, orang yang di tokohkan(kyai), dan golongan masyarakat yang
lain untuk membangun keutuhan masyarakat bersama.
Dari
hubungan interaksi yang terjadi di kalangan masyarakat inilah tentu tidak semua
di perlakukan sesama karena kondisi mereka yang berbeda-beda seorang kyai pasti
lebih di mulyakan dari pada orang biasa, bukan karena mmembeda-bedakan tetapi
ini adalah suatu bentuk kehormatan.
Bentuk
penghormatan yang terjadi di kalangan masyarakat yang berbeda-beda ini sangat
penting karena kondisi dari golongan masyarakat ini juga berbeda-beda, sesuai
dengan apa yang ada dalam ajaran islam seperti bentuk penghormatan terhadap
guru dan orang-orang berilmu yang tertulis dalam kitab-kitab akhlak.
F. Daftar
Pustaka
Soerjono
soekanto. 1993, Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Leibo
Jefta, , Sosiologi Pedesaan, Yogyakarta, Andi Offset, 1995
Rahardjo,
1999, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: Gajah Mada
Universiti Press
Dwi
Narwoko – Bagong Suyanto(ed), Sosiologi: teks pengantar dan terapan, Jakarta:
Prenada Media, 2004
Kahmad, Dadang Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2002),
Salim, Agus,.2006.Stratifikasi Etnik :
kajian Mikro Sosiologi Interksi Etnis Jawa dan Cina, Yogyakarta: PT Tiara
Wacana
[1] Soerjono
soekanto. 1993, Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal: 248
[2] Ibid 249
[3] Rahardjo,
1999, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: Gajah Mada
Universiti Press, hal: 102-104
[4] Ibid 106-107
[5] Ibid 116-117
[6] Prof. Dr. Soerjono Soekanto, Dra. Budi Sulistyowati, MA, Sosiologi
Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 197
[7] Ibid, hlm. 198
[8] Drs. Jefta Leibo, SU, Sosiologi Pedesaan, (Yogyakarta, Andi Offset,
1995) hlm. 57-58
[9] ibid, hlm. 59
[10] Ibid, hlm. 59-60
[11] Prof. Dr. Soerjono Soekanto, Dra. Budi Sulistyowati, MA, Sosiologi
Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 208
[12] Ibid, hlm. 217
[13] J. Dwi Narwoko – Bagong Suyanto(ed), Sosiologi: teks pengantar dan
terapan, Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm 134-135
[14] J. Dwi Narwoko – Bagong Suyanto(ed), Sosiologi: teks pengantar dan
terapan, Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm 141
[15] Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2002), hlm. 155
[16] Ibid, hlm. 155
[17] Ibid, hlm. 156
[18] Ibid, hlm. 157
[19] Ibid, hlm. 157