Friday, 22 April 2016

Published 02:09:00 by

Agama dan stratifikasi Masyarakat


Agama dan Stratifikasi Masyaraka

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Di zaman yang sekarang ini, banyak sekali orang yang memeluk agama islam, khususnya di daerah tercinta kita ini, Indonesia. Agama Islam adalah agama mayoritas yang di peluk oleh orang-orang Indonesia. Tetapi banyak dari mereka yang belum sepenuhnya memakai aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama Islam ini sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Baik yang berhubungan dengan Allah maupun yang berhubungan dengan manusia.
 Dari perkara di atas kami akan mencoba membahas yang berhubungan dengan manusia. Berbicara tentang hubungan antar manusia ini, tidak akan bisa lepas dari bagaimana seseorang bersikap setiap harinya, bagaimana orang tersebut bersikap terhadap orang-orang lain di sekitarnya. Dalam masyarakat pasti banyak macam-macamnya, karena seseorang tidak mungkin sama dengan orang yang lainnya, baik berupa sikap, perilaku, keadaan ekonomi, jabatan maupun etnisnya.
Banyak masyarakat kita yang masih membeda-bedakan antara bersikap terhadap terhadap orang yang kaya, orang yang ditokohkan atau memiliki jabatan, dan orang yang keadannya biasa-biasa saja atau bahkan orang yang serba kurang baik berupa materi, keilmuan dan keagamaan. Padahal dalam Islam sendiri kita tidak diperbolehkan untuk membeda-bedakan antara orang satu dengan orang yang lain. Di al-Quran sudah jelas difirmankan bahwa antar manusia tidak ada bedanya keuali masalah ketaannya terhadap Tuhannya yang lebih dikenal orang Islam dengan nama Allah.
Oleh karena itu penulis akan membahas bagaimana Islam mengatur masalah bagaimana bersikap terhadap orang lain disekitar dan bagaimana realitas yang terjadi di sekitar kita yang berhubungan dengan stratifikasi masyarakat.



B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Stratifikasi Sosial itu?
2.      Bagaimana agama terhadap stratifikasi sosial?

C.      PEMBAHASAN

1.      Pandangan  Agama terhadap Stratifikasi Sosial
a.       Pengertian Stratifikasi Sosial
Abrahamson berpendapat, bahwa teori stratifikasi sosial dari Weber, sebenarnya merupakan suatu tanggapan terhadap ajaran-ajaran Marx mengenai masalah tersebut. Salah satu pokok permasalahannya adalah mengenai dimensi-dimensi stratifikasi sosial, yakni dimensi ekonomis, sosial dan politis. Weber berpendapat, bahwa di dalam setiap tertib, warga-warga masyarakat terbagi dalam kelas-kelas (ekonomis), kelompok status (sosial), dan partai-partai (politis). Hubungan antara ketiganya bersifat timbal - balik; Marxmenganggap, bahwa dimensi ekonomis yang menentukan dimensi-dimensi lainnya. Uraian dibawah ini akan mempermasalahkan hal-hal tersebut. (Mark Abrahamson 1987 : 112).[1]
Weber maupun marx memandang bentuk stratifikasi sosial sebagai gejala yang bervariasi dalam lintasan sejarah. Keduanya mengakui , bahwa stratifikasi sosial merupakan pencerminan dari organisasi sosial suatu masyarakat. Bervariasinya adalah sesuai dengan kemungkinan terjadinya perubahan pada fungsinya dalam organisasi sosial tersebut. Kedudukan dan peranan dari buruh tani merupakan suatu contoh dari persamaan serta perbedaan antara teori Weber dengan Marx. Sebagai golongan yang hanya mampu untukmenjual tenaga dan jasa, maka mereka berada pada posisi yang rendah. Weber juga memberikan perhatian pada posisi rendahnya sebagai kelompok status.[2]
Stratifikasi sosial, pelapisan sosial, atau struktur sosial vertikal adalah penggambaran kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang hierarkhis, berjenjang. Ditingkat teoritik acap ditanyakan mengapa dalam masyarakat terjadi pelapisan-pelapisan? Jawaban yang sederhana adalah: karena kehidupan manusia dilekati oleh nilai. Hewan tidak memiliki perasaan terhina, ternista, diremehkan. Manusia memilikinya karena mereka penyandang nilai. Keberadaan nilai selalu mengandung kelangkaan, tidakmudah didapat dan oleh karenanya memberi “harga” pada penyandangnya. Siapa yang memperoleh lebih banyak “ hal yang bernilai” semakin terpandang dan tinggi kedudukannya. Apa yang dipandang bernilai tinggi dalam kehidupan manusia tidaklah sama pada setiap masyarakat. Secara umum hal-hal yang mengandung nilai berkaitan dengan harta atau keyakinan, jenis mata pencaharian, pengetahuan atau pendidikan, eturunan, keagamaan dan dalam masyarakat yang masih bersahaja juga unsur-unsur biologis (jenis kelamin, usia). Bagimasyarakat desa (pertanian) yang dipandang bernilai adalah lahan pertanian. Maka seberapa besar pemilikan atau penguasaan seseorangterhadap lahan pertanian akan menentukan seberapa tinggi kedudukannya ditengah masyarakat mereka.
1)      Struktur Biososial
Keterkaitan antara faktor biologis dan struktur sosial vertikal (stratifikasi sosial) dapat ditunjukkan lewat sifat mata pencaharian masyarakatbersangkutan. Dalam masyarakat yang masih bersahaja, yakni dari ketika masyarakat masih dalam tingkat food gathering economis (hunting, fishing, meramu) sampai pada ketika mereka telah mengalami era pertanian (tradisional), masyarakat manusia masih mengandalkan kepada kekuatan pisik dan pengalaman.[3]
2)      Desa Satu Kelas dan Dua Kelas
Smith dan zopf tahun (1970) mengemukakan adanya dua tipe desa, yakni apa yang dia sebut one class system (tipe satu kelas) dan two class system (tipe dua kelas)  secara garis besarnya desa tipe satu kelas dapat digambarkan sebagai tipe desa yang pemilikan lahan pertanian warganya rata-rata sama. Perbedaan yang ada tidak bersifat senjang. Sedangkan desa tipe dua-kelas secara garis besarnya digambarkan sebagai dea yang didalamnya terdapat sejumlahkecil warga yang mempunyai lahan yang amat luas, dan selebihnya dalam jumlah besar merupakan warga yang tidak memiliki lahan pertanian.[4]
3)      Dimensi-dimensi Pelapisan Sosial
Sutardjo kartohadikoesoemo memberikan gambaran tentang penggolongan masyarakatdesa dijawa yang berlandaskan pemilikan tanah sebagai berikut:
a)      Warga bau, adalah warga desa yang memiliki tanah pertanian, rumah dan tanah pekarangan (orang baku, sikep, gogol kenceng, kuli/wong kenceng)
b)      Warga desa yang mempunyai rumah diatas pekarangan (lindung, angguran kampung, kuli, sikep mburi/sikep nomor dua, wong setengah kenceng ).
c)       Warga desa yang mempunyai rumah diatas pekarangan orang lain (wong dempel, menumpang, numpang karang).
d)     Warga desa yang kawin dan mondok dirumah orang lain, orang-orang tua, penganten baru, orang baru (rangkepan, kumpulan, nusup, kempitan).
e)      Pemuda yang belumkawin (joko,sinoman).
Didalam bukunya, Sutardjo tidak menyebutkan penggolongannya itu sebagai pelapisan sosial. Namun secara substansional jelas memperlihatkan bentuknya sebagai suatu stratifikasi sosial.
Pelapisan sosial masyarakat desa (Jawa) yang didasarkan atas pemilikan atau penguasaan tanah sebagaimana digambarkan soetardjo Kartohadikoesoemoitu juga dikemukakan oleh pakar lainnya. M. Jaspan (1961:12) menggambarkan adanya empat pelapisan sosial yang terdapat dikalangan masyarakat desa didaerah Yogyakarta.
1)      Kuli keceng, yakni mereka yang memilikitanah pekarangan dan sawah,
2)      Kuli gundul, yakni mereka yang hanya memiliki sawah,
3)      Kuli karangkopek, yakni mereka yang mempunyai pekarangan saja, dan
4)      Indung tlosor, yakni mereka yang memiliki rumah saja diatas tanah orang lain.
Menurut ter Haar (1960), pelapisan sosial masyarakat desa itu dibedakan atas:
1)      Golongan pribumi pemilik tanah (sikep, kuli, baku, atau gogol),
2)      Golongan yang hanya memiliki rumah dan pekarangan saja atau tanah pertanian saja (indung atau lindung),
3)      Golongan yang hanya memiliki rumah saja di atas tanah pekarangan orang lain, dan mencari nafkah sendiri (numpang).
Sedangkan menurut Koentjaraningrat (1964) pelapisan sosial masyarakat desa digambarkan sebagai berikut:
1)      Keturunan cikal bakal desa dan pemilik tanah (kentol),
2)      Pemilik tanah diluar golongan kentol (kuli),
3)      Yang tidak memiliki tanah.[5]
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya. Kalau suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan materiil daripada kehormatan, misalnya, mereka yang lebih banyak kekayaan materiil akan menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-pihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal.[6]
Menurut Pitirim A. Sorokin, Bentuk-bentuk lapisan masyarakat berbeda-beda dan banyak sekali. Lapisan-lapisan tersebut tetap ada, sekalipun dalam masyarakat kapitalis, demokratis, komunistis dan lain swbagainya. Lapisan masyarakat tadi mulai ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama di dalam suatu organisasi sosial. Misalnya pada masyarakat-masyarakat yang bertaraf kebudayaan masih bersahaja. Lapisan masyarakat mula-mula didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin, golongan buangan/budak dan yang bukan buangan/budak, pembagian kerja, dan bahnkan juga suatu penbedaan berdasarkan kekayaan. Semakin rumit dan semakin maju teknologi sesuatu masyarakat, semakin kompleks pula sistem lapisan masyarakat.[7]
Sistem berlapis-lapis dalam sosiologi dikenal sebagai “Social Stratification”, yang berasal dari kata :Stratum yang kalau jamaknya strata =lapisan. Menurut Pitirim A. Sorokin yang dimaksud dengan Social Stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirearkis). Dimana perwujudannya adalah lapisa-lapisan atau kelas-kelas tinggi, sedang ataupun kelas-kelas yang rendah.[8]
b.      Tipe Sistem Lapisan Sosial
Ada dua tipe sistem lapisan sosial, yaitu:[9]
1)      Dapat terjadi dengan sendirinya berbarengan dengan proses pertumbuhan masyarakat itu sendiri.
Faktor-faktor penyebabnya adalah seperti tingkat umur (senioritas), sifat keaslian keanggotaan kerabat pimpinan masyarakat atau mungkin juga harta benda dalam batas-batas tertentu
2)      Sengaja disusun untuk mengejar tujuan bersama yang diinginkan oleh sejumlah anggota masyarakat.
Karena pada dasarnya untuk mnengejar suatu tujuan bersama, ini biasanya dilakukan terhadap pembagian wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi formil. Misalnya di bidang pemerintahan, partai politik, dan sebagainya.
c.       Sifat Sistem lapisan Sosial
Sifat sistem lapisan masyarakat[10]
1)      Bersifat tertutup (closed social stratification)
Dikatakan demikian karena disini tidak memungkinkan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain secara vertikal maupun horisontal. Dalam sistem seperti ini satu-satunya jalan untuk menjadi anggota dari lapisan yang lain dalam masyarakat adalah karena kelahiran.
2)      Bersifat terbuka (open social stratification)
Dimana setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan yang  sama untuk berusaha denga kemampuannya untuk naik menempati lapisan atas. Atau mereka yang kurang beruntung bisa jatuh dari lapisan atas ke lapisan bawahnya. Contohnya anak-anak petani yang oleh karena pendidikan formal, dapat menempati posisi atau kedudukan yang baik di dalam masyarakat.
Ukuran-ukuran yang biasa dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan adalah :[11]
1)      Ukuran kekayaan
Barang siapa yang memiliki kekayaan yang palin banyak termasuk dalam pelapisan teratas. kekayaan tersebut ,misalnya ,dapat dilihat dari bentuk rumah yang bersangkutan,mobil pribadinya, cara-caranya mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya.
2)      Ukuran kekuasaan
Barang siapa yang memiliki kekuasaan atau yang mnpinyai wewenang terbesar menempati lapisan atasan.
3)      Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas ari ukuran-ukuran kekayaan dan/atau kekuasaan. Orang yang pa;ing disegani dan dihormati , mendpat tempat yang teatas. Ukuran semacam ini, bayak dijumpai pada mansyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.
4)      Ukuran ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masyrakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ukuran tersebut kadang-kadang menyebabkan terjadinya akibat-akubat yang negatif karna ternyata bahwa bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, tetapi gelar kesarjanaannya. Sudah tentu hal yang demikian memacu segala macam usaha untuk mendapat gelar walaupun tidak halal.
d.      Unsur – Unsur Lapisan masyarakat
Unsur – unsur lapisan masyarakat[12]
1)      Kedudukan (status)
Kedudukan merupakan tempat seseorang dalam suatu pola tertentu, dan seseorang dapat memiliki beberapa kedudukan. Ada dua macam kedudukan yang dikembangkan dalam masyarakat, yaitu:
a)      Ascribed status: kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniyah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran.
b)      Achieved status: kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran, tetapi bersifat terbuka bagi siapa saja, tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar dan mencapai tujuan-tujuannya.
c)      Kadang-kadang dibedakan lagi satu macam kedudukan, yaitu assigned status yang merupakan kedudukan yang diberikan. Assigned status tersebut sering mempunyai hubungan yang erat dengan achieved status, dalam arti bahwa suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
2)      Peranan (role)
Peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan, yaitu seseorang yang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya. Suatu peranan mencakup paling sedikit tiga hal berikut ini:
a)      Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat.
b)      Peranan merupakan suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c)      Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial.




e.       Karakteristik Stratifikasi Sosial
Secara rinci, ada tiga aspek yang merupakan karakteristik stratifikasi sosial, yaitu:[13]
1)      Perbedaan dalam kemampuan atau kesanggupan anggota masyarakat yang menduduki strata tinggi tentu memiliki kesanggupan dan kemampuan yang lebih besar dibandingka anggota masyarakat yang dibawahnya. Contoh: berbeda dengan golongan IV yang kebanyakan mampu membeli mobil, akibat keterbatasan gaji yang diperolehnya seseorang pegawai negeri golongan satu dan dua tentu hanya akan sanggup membeli sepeda atau sepeda motor saja.
2)      Perbedaan dalam gaya hidup (life style). Seorang direktur sebuah perusahaan, selain dituntut selalu berpakaian rapi, mereka biasanya juga melengkapi atribut penampilannya dengan aksesoris-aksesoris selain untuk menunjang kemantapan penampilan seperti memakai dasi, bersepatu mahal, berolahlaga tenis atau golf, memakai pakaian merek terkenal, perlengkapan lain yang sesuai dengan statusnya. Seorang direktur perusahaan besar yang berpakaian kumal besar akan menjadi perguncingan. Sebaliknya, seorang bawahan yang berperilaku seolah-olah direktur tentu juga akan menjadi bahan cemoohan.
3)      Perbedaan dalam hak dan akses dalam memanfaatkan sumber daya. Seseorang yang memiliki jabatan tinggi biasanya akan semakin banyak hak dan fasilitas yang diperolehnya. Sementara itu, seseorang yang tidak menduduki jabatan strategis apapun tentu hak dan fasilitas yang mampu dinikmati akan semakin kecil. Seorang kepala bagian, misalnya, selain bergaji besar dan memiliki ruangan sendiri, mereka juga berhak untuk memerintah stafnya. Bandingkan dengan hak dan fasilitas apa saja yang dimiliki bawahannya? Sejauh mana hak dan fasilitas antara keduanya berbeda?. Di dalam berbagai perusahaan swasta, biasanya kita akan menemui adanya ketentuan tertulis yang mengatur apa saja yang menjadi hak atasan dan apa pula yang menjadi hak bawahan. Kendati sama-sama bekerja di sebuah perusahaan, bila seorang kepala kepala bagian sakit dan harus opname di rumah sakit, maka ia akan berhak menginap di kamar yang baik-katakanlah kelas I. Sedangkan bila ada seorang staf yang sakit, mungkin perusahaan hanya mau mengganti maksimal biaya nginap di kelas III atau sekurang-kurangnya tidak mungkin sama dengan yang menjadi hak kepala bagian.
f.       Terjadinya Stratifikasi Sosial
Terjadinya stratifikasi sosial atau sistem pelapisan masyarakat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistem pelapisan yang terjadi sendirinya artinya tanpa di sengaja, dan sistem pelapisan yang terjadi karena dengan sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu.
            Lapisan-lapisan dalam masyarakat yang terjadi dengan sendirinya atau tidak disengaja misalnya lapisan yang didasarkan pada umur, jenis kelamin, kepandaian, sifat keaslian keanggotaan kerabat kepala masyarakat, mungkin dalam batas-batas tertentu berdasarkan harta.
            Sedangkan sistem lapisan dalam masyarakat yang sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politi, angkatan bersenjata dan sebagainya. Kekuasaan dan wewenang itu merupakan suatu unsur khusus dalam sistem pelapisan masyarakat yang memiliki sifat lain daripada uang, tanah, dan benda ekonomis lainnya, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Hal ini disebabkan uang, dan sejenisnya dapat dibagi secara bebas dalam masyarakat tanpa merusak keutuhan masyarakat.[14]
2.      Hubungan Agama dan Stratifikasi Sosial
Agama dan stratifikasi sosial adalah dua hal yang berbeda. Walaupun demikian, membicarakan keduanya dalam satu bahasan atau topik, tetap akan mempunyai aspek-aspek positif dalam kajian akademis, bahkan lebih jauh bisa menemukan hal-hal baru dalam keagamaan. Pernyataan ini tidak dapat lepas dari anggapan bahwa agama dan masyarakat dalam pengertian ,apisan sosial diduga sebagai dua unsur yang saling mempengaruhi satyu sama lain.[15]
Dalam tulisan ini agama didefinisikn sebagai sistem kepercayaan, yang di dalamnya meliputi aspek-aspek hukum, moral, budaya dan sebagainya. Sedangkan lapisan ssosial dipahami sebagai strata orang-orng yang berkedudukan sama dalam kontinum (rangkaian satuan) status sosial. Tetapi, Horton dan Hunt menegaskan bahwa jika ditanya berapa banyak jumlah kelas sosial, mereka sulit menjawabnya. Barangkali, enam klasifikasi yang diaujukan oleh banyak ahli bisa menjadi jawaban, yaitu (1) upper class; (2) lower upper class; (3) upper middle class; (4) lower middle class; (5) upper lower class dan (6) lower lower class.[16]
Klasifikasi sosial di atas, tentu tidak berlaku umum, sebab setiap kota ataupun desa masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-bada. Pernnyataan ini paling tidak, menggambarkan bagaiman kelas sosial sebenarnya. Maka disini bisa ditegaskan bahwa kelas sosial merupakan suatu realitas sosial yang penting. Bukan sekedar suatu konsep teoritis. Manusia memang mengklasifikasikan orang lain ke dalam kelompok yang sederajat, lebih tinggi atau lebih rendah. Manakala jumlah orang menganggap orang-orang tertentu sebagai anggota masyarakat mempunyai karakteristik perilaku tertentu pada golirannya menciptakan kelas sosial.[17]
Agama dan stratifikasi sosial memiliki hubungan yang mengandung multiinterpretasi. Penelitian Webber, misalnya, menyatakan bahwa kelas menengah rendah dianggap memiliki peranan strategis dalam sejarah agama Kristen. Lebih lanjut Webber menyimpulkan bahwa stratifikasi sosial dianggap sebagai faktor yang menentukan kecenderungan-kecenderungan keagamaan dan orientasinya. Tak heran, jikaWebber menyimpulkan bahwa kelas-kelas yang secara ekonomis paling tidak mampu, seperti para budak dan buruh harian, tidak akan pernah bertindak sebagai pembawa panji-panji agama tertentu.[18]
Hubungan lain dari agama dan stratifikasi sosial adalah konversi atau berallih agama, dari agama tertentu kepada agama lain. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang pindah agama, antara lain, faktor ekonomi dan faktor sosial. Ernest Troeltsch mengungkapkan bahwa sebagian besar yang beralih ke agama kristen berasal dari kelas menengah bawah yang hidup di kota-kota besar, yang menikmati peralihan peningkatan ekonomi yang terjadi secara lamban pada waktu itu.[19]

D.      Analisis Data

1.      Stratifikasi Sosial pada Masyarakat Kauman Ngembal Rejo
Stratifikasi juga berlaku pada masyarakat kita, terutama pada masyarakat Kauman,  Ngembal Rejo. Memang perbedaan lapisan-lapisan masyarakat tidak dapat kita hindari. Itu terbukkti dari kegiatan yang mereka lakukan sehari-hari, misal: Ketika ada acara perkawinan, undangan yang datang itu dari golongan masyarakat yang berbeda-beda, ada yang dari rakyat biasa (golongan menengah kebawah), orang kaya, pejabat, kyai biasa, kyai besar dan sebagainya. Ketika orang-orang yang diundang ini datang, tanggapan dari si tuan rumah pasti berbeda-beda. Apabila yang datang aadalah rakyat biasa (golongan menengah ke bawah) mereka, si tuan rumah akan menyambut mereka biasa-biasa saja, maksimal dipersilahkan duduk, bahkan mungkin hanya disalami saja. Berbeda bila yang datang adalah orang yang kaya, pejabat, kyai biasa dan kyai besar (yang memiliki nama besar/sudah terkenal). Kyai besar yang datang pasti disambut dengan sedemikian rupa, bahkan cara mempersilahkan duduk pun berbeda. Apabila rakyat biasa dipersilahkan duduk, paling hanya sampai disitu saja, tidak sampai disediakan tempat duduk khusus. Tapi kalau kyai yang datang, beliau langsung dicium tamgannya, diarahkan ke tempat duduk yang sudah dipersiapkan khusus untuknya.
Apabila dalam sebuah rapat pemuda desa, katakanlah membahas akan diadakannya pengajian, pendapat dari orang yang ber’uang, kyai, atau pejabat desa pasti lebih diunggulkan dari pendapat orang-orang yang memiliki keadaan ekonomi menengah kebawah.

2.      Hubungan agama jika dilihat dari stratifikasi sosial pada masyarakat Kauman Ngembal Rejo
Dari contoh-ontoh diatas terbukti di sekitar kita stratifikasi sosial yang terjadi dikalangan orang islam d isekitar kita, tidak dapat dihilangkan. Dalam pemahaman ini menurut Ustadz an-Nasich pembeda-bedaan yang terjadi yang ada pada orang islam itu hanya perhormatan terhadap orang-orang yang ber-ilmu, bukan terhadap orang yang lebih kaya, atau lebih berkuasa. Seperti yang tercantum dalam kitab-kitab akhlak seperti Kitab Ta’lim dan yang lainnya. Kitab ini juga membahas bagaimana pentingnya menghormati orang yang ber-ilmu dan  cara bersikap kepadanya.
3.      Stratifikasi Sosial pada Masyarakat Kauman Ngembal Rejo menurut Tokoh
Dari realitas yang ada, ternyata sesuai dengan teori-teori yang dikemukakan oleh Tokoh-tokoh pemikir dalam bidang Sosiologi, seperti yang dikemukakan oleh Weber yaitu “di dalam setiap tertib, warga-warga masyarakat terbagi dalam kelas-kelas (ekonomis), kelompok status (sosial), dan partai-partai (politis). Hubungan antara ketiganya bersifat timbal - balik; Marx menganggap, bahwa dimensi ekonomis yang menentukan dimensi-dimensi lainnya.
Dengan realitas yang ada pada masyarakat Kauman, sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Webber bahwa agama itu etis yang rasional. Maksudnya ada norma, aturan, etika yang berkembang sebagai penghormatan terhadap orang- orang yang lebih tinggi dari segi kedudukan dan peranannya.

E.     Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa teori-teori yang dikemukakan oleh para pemikir sosiologi sesuai dengan keadaan masyarakat indonesia khususnya di daerah kauman tetapi kesesuaian ini tidak sepenuhnya karena lapisan-lapisan yang ada di masyarakat itu hanya mencakup perbedaannya saja ,tetapi, dari segi sosialisasi kemasyarakatan ,orang-orang ini tidak membeda-bedakan antara orang satu dengan yang lain. Dengan bukti orang yang kaya tidak hanya berinteraksi dengan orang kaya saja, tetapi juga berinteraksi dengan orang-orang yang di nilai kurang mampu, orang yang di tokohkan(kyai), dan golongan masyarakat yang lain untuk membangun keutuhan masyarakat bersama.
Dari hubungan interaksi yang terjadi di kalangan masyarakat inilah tentu tidak semua di perlakukan sesama karena kondisi mereka yang berbeda-beda seorang kyai pasti lebih di mulyakan dari pada orang biasa, bukan karena mmembeda-bedakan tetapi ini adalah suatu bentuk kehormatan.
Bentuk penghormatan yang terjadi di kalangan masyarakat yang berbeda-beda ini sangat penting karena kondisi dari golongan masyarakat ini juga berbeda-beda, sesuai dengan apa yang ada dalam ajaran islam seperti bentuk penghormatan terhadap guru dan orang-orang berilmu yang tertulis dalam kitab-kitab akhlak.

F.     Daftar Pustaka

Soerjono soekanto. 1993, Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Leibo Jefta, , Sosiologi Pedesaan, Yogyakarta, Andi Offset, 1995
Rahardjo, 1999, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: Gajah Mada Universiti Press
Dwi Narwoko – Bagong Suyanto(ed), Sosiologi: teks pengantar dan terapan, Jakarta: Prenada Media, 2004
Kahmad, Dadang  Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002),
Salim, Agus,.2006.Stratifikasi Etnik : kajian Mikro Sosiologi Interksi Etnis Jawa dan Cina, Yogyakarta: PT Tiara Wacana



[1] Soerjono soekanto. 1993, Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal: 248
[2] Ibid 249
[3] Rahardjo, 1999, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: Gajah Mada Universiti Press, hal: 102-104
[4] Ibid 106-107
[5] Ibid 116-117
[6] Prof. Dr. Soerjono Soekanto, Dra. Budi Sulistyowati, MA, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 197
[7] Ibid, hlm. 198
[8] Drs. Jefta Leibo, SU, Sosiologi Pedesaan, (Yogyakarta, Andi Offset, 1995) hlm. 57-58
[9] ibid, hlm. 59
[10] Ibid, hlm. 59-60
[11] Prof. Dr. Soerjono Soekanto, Dra. Budi Sulistyowati, MA, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 208
[12] Ibid, hlm. 217
[13] J. Dwi Narwoko – Bagong Suyanto(ed), Sosiologi: teks pengantar dan terapan, Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm 134-135
[14] J. Dwi Narwoko – Bagong Suyanto(ed), Sosiologi: teks pengantar dan terapan, Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm 141
[15] Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 155
[16] Ibid, hlm. 155
[17] Ibid, hlm. 156
[18] Ibid, hlm. 157
[19] Ibid, hlm. 157
      edit
Comments
0 Comments