Tuesday, 19 April 2016

Published 23:58:00 by

Mitos Pari joto dan air gentong kramat peninggalan Sunan Muria


MITOS PARI JOTO DAN AIR GENTONG KERAMAT

PENINGGALAN SUNAN MURIA

 (dalam Perspektif Antropologi Agama)



ABSTRAK

Buah Pari Joto, berukuran sebesar biji kacang tanah yang berwarna merah muda pada saat masih muda dan berwarna kehitaman jika sudah masak, rasanya getir kemasaman yang  berkhasiat membantu perkembangan janin didalam kandungan. Buah ini dipercaya dapat menjadikan bayi yang dalam kandungan berkembang sempurna, baik fisik maupun psikis. Dan secara psikis buah ini dipercaya berkhasiat untuk perkembangan otak dan watak calon bayi, sehingga kelak ia terlahir, akan mendewasa sebagai pribadi yang cerdas dan berkarakter saleh ataupun shalehah. Beberapa peziarah mengaku menyempatkan diri untuk mengambil air gentong keramat  sebagai buah tangan sepulang ziarah. Pengunjung yang meminum air gentong ini tujuannya untuk ngalap barokahe mbah Sunan Muria, masyarakat juga percaya bahwa air gentong keramat peninggalan sunan Muria bisa dijadikan obat segala macam penyakit, selain itu bisa juga menyehatkan badan, ada juga pengunjung yang membasuh mukanya dengan air ini, mereka percaya bahwa air dari gentong ini bisa memberi aura positif bagi peminumnya.


1. PENDAHULUAN

Disebelah utara kota Kudus dengan jarak 18 km, terdapat desa bernama Colo. Desa Colo ini terletak dilereng bukit Muria, yakni salah satu bukit dari beberapa puncak di Gunung Muria yang tingginya 1600 meter lebih. Diatas bukit Muria itulah letaknya makam Raden Umar Sa’id atau yang lebih kita kenal dengan nama Sunan Muria. Makam Sunan Muria, sampai sekarang masih ramai dikunjungi para wisatawan lokal maupun nonlokal.  

Sunan Muria adalah sosok kharismatik bagi masyarakat pengagumnya. Beliau diyakini wali (kekasih Allah) yang memiliki karomah tersendiri. Sunan Muria juga dikenal sebagai guru Sufi yang sederhana dan dekat dengan rakyat. Terdapat banyak sekali mitos mitos yang berkembang di masyarakat Colo setempat salah satunya mengenai kekhasiatan buah Pari Joto yang banyak dijual disepanjang jalan menuju makam sunan Muria. Mereka meyakini bahwa buah Pari Joto baik untuk pembentukan otak janin. Selain itu, terdapat juga air keramat peninggalan sunan Muria yang diyakini menyimpan banyak keberkahan tersendiri yang dijadikan buah tangan sepulang ziarah makam sunan Muria.

Melihat fenomena mitos mengenai buah pari joto dan air keramat peninggalan sunan Muria tersebut, saya tertarik untuk melakukan penelitian lapangan di desa Colo kecamatan Dawe Kabupaten Kudus untuk sekiranya mendapatkan sejumlah keterangan unik dan menarik untuk menyelesaikan ujian tengah semester mata kuliah antropologi agama  ini. semoga jurnal ini bermanfaat untuk kita semua.


2. PEMBAHASAN

Pendekatan Antropologi Agama

Sebelum pembahasan mengenai tema, kita akan kupas terlebih dahulu mengenai pendekatan antropologi agama. Pendekatan yang digunakan oleh para ahli antropolog dalam meneliti wacana keagamaan adalah adalah pendekatan kebudayaan, yaitu melihat agama sebagai inti kebudayaan. Kajian antropolog yang bernama Geertz (1963) mengenai agama abangan, santri, dan priyai adalah kajian mengenai variasi-variasi keyakinan agama dalam kehidupan (kebudayaan) masyarakat Jawa sesuai dengan konteks lingkungan hidup dan kebudayaan masing-masing bukannya kajian mengenai teologi agama. Berbeda dengan pendekatan antropolog, sebagai ilmu sosial pendekatan yang dipakai antropologi agama untuk menjawab masalah yang menjadi perhatiannya adalah pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah yang dikembangkan dari pendekatan ilmu alam bertolak dari kenyataan yang mengandung masalah. Masalah itu diantaranya apa sebab suatu kenyataan jadi demikian, apa faktor-faktor yang menjadikannya demikian. Sadar bahwa manusia adalah mahluk budaya, punya kehendak, keinginan, imajinasi, perasaan, gagasan, kajian yang dikembangkan antropologi tidak seperti pendekatan ilmu alam. Pendekatan yang digunkan lebih humanitik, berusaha memahami gejala dari prilaku tersebut yang nota bene punya gagasan, inisiatif, keyakinan, bisa terpengaruh oleh lingkungan dan mempengaruhi lingkungan. Oleh karena itu, pendekatan antropologi tidak menjawab bagaimana beragama menurut kitab suci, tetapi bagaimana seharusnya beragama menurut penganutnya.

A.  Buah Pari Joto[1]

Buah Pari Joto, berukuran sebesar biji kacang tanah yang berwarna merah muda pada saat masih muda dan berwarna kehitaman jika sudah masak, rasanya getir kemasaman. Mengandung unsur kimia berupa saponin, kardenilin, flavonoid, tanin, nutrisi dan vitamin Bg. Semuanya baik untuk membantu pembentukan otak janin. Mitos tentang Pari Joto tersebar luas ke jagad nusantara. Ia dielu-elukan si sebagai salah satu “warisan” Sunan Muria. Sejarah lisan yang berkembang, konon, pada saat istri beliau. Dewi Sujinah, mengandung putrinya yang kelak diberi nama Dewi Ayu Nawangsih, Nyai Sujinah tiba-tiba ingin memakan buah yang rasanya masam, atau yang hari ini kita mengenalnya dengan istilah “nyidam” atau “ngidam”.

Saat itu, gunung Muria yang kaya keanekaragaman hayati menyajikan berbagai jenis tumbuhan yang sekiranya dapat mengobati ngidam sang istri. Sunan Muria memerintahkan para santrinya untuk mencari buah dihutan pegunungan Muria yang sekiranya buah itu memiliki ciri dan rasa seperti yang dikehendaki sang istri. Para santri berangkat melakukan pencarian ketengah hutan. Tak lama kemudian,  mereka pulang dengan membawa buah Pari Joto. Kisah lain, masih tentang Pari Joto, konon ia adalah buah mistik yang berasal dari “kompol” gunung Margojembangan, nama salah satu gunung di pegunungan Muria, letaknya disebelah utara puncak gunung Muria.

Buah Pari Joto buahnya orang hamil. Biasanya dimakan oleh ibu yang tengah nyidam. Menurut mitos yang beredar, jika makan buah Pari Joto ini, jika anaknya nantinya laki-laki,  Insya Allah akan ganteng dan sholih, dan jika perempuan, Insya Allah akan cantik dan sholihah[2]

Buah Pari Joto memang berkhasiat membantu perkembangan janin didalam kandungan. Buah ini dipercaya dapat menjadikan bayi yang dalam kandungan berkembang sempurna, baik fisik maupun psikis. Secara fisik, yang dikatakan oleh Siti Amti’ah memang benar adanya. Dan secara psikis buah ini dipercaya berkhasiat untuk perkembangan otak dan watak calon bayi, sehingga kelak ia terlahir, akan mendewasa sebagai pribadi yang cerdas dan berkarakter saleh ataupun shalehah.

Pari Joto, Komunikasi Budaya dan Makna Spiritual

Mitologi buah Pari Joto begitu populer, merasuk hingga kalangan masyarakat lintas daerah, lintas budaya bahkan lintas ideologi. Kenyataan ini telah menjelaskan bahwa Pari Joto tidak hanya memiliki kekuatan mistik seperti terekam dalam imajinasi masyarakat. Ia juga telah menjadi salah satu media komunikasi budaya sekaligus metode penyampaian muatan dakwah khas sunan Muria.

Pari Joto menjadi tali kesinambungan semangat dakwah sunan Muria, yang dalam laporan Umar Hasyim (1985), sunan Muria merupakan kelompok Walisongo “aliran” moderat atau “abangan”. Maksudnya sunan Muria adalah dari Walisongo yang mengembangkan metode dakwah aliran Tuban, yang bersemangat moderat, dekat dengan rakyat jelata, dan penuh toleransi.

Titik semangat dakwah yang kultural dan merakyat itu terjadi apik melalui mitos dari buah Pari Joto. Ia terbukti mampu menjadi irisan budaya masyarakat luas, tanpa menuai perdebatan . Di dukung mitos keramat  dan khasiat alamiahnya, buah Pari Joto mampu menjadi “benda multikultural” yang diamini dan bahkan menjadi bagian hidup masyarakat luas selayak air zam-zam bagi masyarakat muslim lintas ideologi.[3]

Suanan Muria, memahami setangkai Pari Joto tidak terbatas benda konsumsi. Pari Joto bagi Sunan Muria ia pahami sebagimana sebagai tanda kuasa cipta kreatif Allah untuk menebar rahmat. Pari Joto adalah rizki sebagaimana potensi alam lainnya. Di dalam Pari Joto tersimpan tanda kekuasaan Allah, sekaligus juga menjelaskan sifat rahmat (kasih sayang Allah).

Pari Joto dan Pesan Ibadah

            Pari Joto, buah keramat ini sejatinya kaya nutrisi semangat kemanusiaan. Kita perlu mengupasnya dengan kerangka ushul fikih untuk mengeluarkan nutrisi yang dikandungnya. Pari Joto dipercaya memiliki khasiat dapat memberi manfaat alam untuk perkembangan dan pembentukan sel otak janin dalam kandungan. Pari Joto secara faktual melampaui sisi mitologisnya sebagai buah keramat. Selain bertuah dapat mendukung kualitas fisik keturunan, pari joto juga mengandung berbagai nutrisi dan vitamin yang dapat membantu pembentukan jaringan otak pada janin. Artinya, pari joto secara alamiah memiliki fungsi-nya menciptakan kualitas keturunan, baik secara fisik maupun psikis. Sedikitnya Pari Joto memuat dua maslahat, yakni hifd al nasl (menjaga dan memperbaiki keturunan) dan hifd al aql (menjaga dan meningkatkan kualitas otak pada janin). Jika demikian, maka Pari Joto adalah mitologi berwawasan ekorolegi bernuansa fikih.

            Keyakinan Pari joto sebagai buah bernutrisi spiritual diperkukuh oleh kisah Rosul yang menganjurkan mengonsumsi jintan hitam sebagai ikhtiar untuk menyembuhkan segala macam penyakit.[4]

B.   Air Gentong Keramat

Usai berziarah dari pusara Sunan Muria, pengunjung akan melewati ruangan tertutup dengan desain melingkar. Puncak dari rute ini adalah  ruang khusus tempat pengambilan air gentong keramat. Rute keluar-masuk areal makam sunan Muria sengaja didesain dengan mengarahkan rute perjalanan pengunjung sampai dilokasi gentong keramat disamping pintu keluar. Tujuannya agar pengunjung dapat mengambil air gentong keramat secara leluasa setelah usai ritual ziarah.

Ritual pengambilan air gentong memang didesain pada urutan terakhir, dari sederet ritual sejarah lainnya, agar pengambilan air dilakukan setelah peziarah melakukan ritual. Air keramat ini diposisikan sebagai ritual terakhir peziarah setelah memanjatkan doa, sehingga berkah doa yang dipanjatkan dalam ritual ziarah di makam sunan Muria mengalir ke air yang diambil dari gentong keramat peninggalan beliau.

Pengunjung yang meminum air gentong ini tujuannya untuk ngalap barokahe mbah Sunan Muria, masyarakat juga percaya bahwa air gentong keramat peninggalan sunan Muria bisa dijadikan obat segala macam penyakit, selain itu bisa juga menyehatkan badan, ada juga pengunjung yang membasuh mukanya dengan air ini, mereka percaya bahwa air dari gentong ini bisa memberi aura positif bagi peminumnya.[5]

Beberapa peziarah mengaku menyempatkan diri untuk mengambil air gentong keramat  sebagai buah tangan sepulang ziarah. Mereka sengaja membeli botol berukuran besar yang dijual disepanjang jalan menuju Makam sunan Muria.

Mitos air gentong keramat ini berkisah bahwa Sunan Muria yang masa hayatnya selalu menyediakan air untuk konsumsi dan bersuci (thaharah). Sang Sunan menampung air didalam gentong berukuran besar. Gentong ini pada mulanya diletakkan di mbelek (mata air) Rejoso, sekitar 300 meter sebelah timur laut dari makam sunan Muria.

            Konon, ia berasal dari mbelek Laren, letaknya disekitar petilasan Syaikh Syadzali , dekat dengan sebuah makam yang diyakini sebagai makam Mbah Laren. Air dari mbelek Laren ini di usung oleh salah seorang abdi atau pembantu di padepokan Sunan Muria bernama Nyi Ageng Ratu, Konon, pada saat memindahkan air dari mbelek Laren ke Sendang Rejoso, Nyai Ageng Ratu menggunakan kendit (kain panjang untuk menggendong). Pada saat menggendong, kendit itu tersangkut disebuah anak gunung, sehingga gunung tersebut patah (tugel). Hingga sekarang, jejak tersebut masih ditemukan di daerah pegunungan Muria bernama gunung tugel.

            Menurut versi cerita ini, gentong yang sekarang dapat disaksikan dilokasi makam Sunan Muria itu adalah gentong peninggalan Sunan Muria asli. Pengurus makam atau yang biasa disebut YM2SM (Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria) memasang papan informasi bertuliskan “Gentong Keramat Peninggalan Sunan Muria” . Tulisan ini merupakan versi kedua yang telah diganti. Bebarapa tahun sebelumnya, tulisan yang dipasang bukan “Gentong Keramat Peninggalan Sunan Muria” melainkan “Air Gentong Keramat Peninggalan Sunan Muria”. Penggantian papan nama ini karena menurut pengurus makam, nilai kekeramatan yang sebenarnya ada pada gentong, bukan airnya. Gentong tersebut dipercaya sebagai peninggalan Sunan Muria. Air yang sekarang dibagikan kepada peziarah adalah air dari mata air dari mata air mbelek Laren yang disalurkan melalui pipa.

            Sedangkan sebagian masyarakat menganggap bahwa gentong ini dapat mengeluarkan air dengan sendirinya dari dindingnya. Namun, karena pada kepengurusan masa silam (tidak diketahui pasti masa kepengurusannya), gentong ini pernah “dijual”, sehingga gentong ini enggan mengeluarkan air. Singkatnya, sebagian masyarakat menduga bahwa faktor hilangnya kekeramatan gentong itu karena praktik komersialisasi air, meskipun praktik yang mereka anggap menjual air keramat itu tidak dalam bentuk jual beli, melainkan uang sedekah yang dianjurkan khusus kepada para peziarah yang ingin mengambil air gentong.

            Ada juga versi lain yang menyebutkan bahwa gentong ini tidak pernah habis meskipun tidak pernah diisi air, bukan karena ia dapat mengeluarkan air  dengan sendirinya,. Gentong ini sejak zaman dahulu diisi satu kali setiap tahunnya, yakni pada tanggal 1 Muharram. Karena gentong ini berukuran sangat besar dan pada waktu silam para peziarah terbilang masih sepi, sehingga debet air yang hanya diisi satu tahun sekali itu dapat mencukupi kebutuhan semua peziarah dalam waktu setahun. Karenanya, banyak orang menyanngka bahwa gentong ini dapat mengeluarkan air dengan sendirinya.

            Gentong ini memiliki bentuk dan ciri yang dapat dikatakan berbeda dari sewajarnya ukuran gentong pada umumnya. Kira kira gentong  ini berdiameter sekitar 1 sampai 1,5 meter dan tinggi sekitar 1,2 meter dan ditanam dibawah tanah dan hanya sebagian kecil yang tampak dari atas.

            Ruangan tempat gentong ini tepat berada di bawah lantai ruangan kembar. Ruang kembar ini pada mulanya hanya digunakan untuk acara tertentu seperti haul. Namun, pengurus YM2SM ini menggunakan ruangan ini sebagai rute masuk ke makam sunan muria. Pertama kali jalur ini dibuka, rute yang diambil melewati salahsatu titik yang tepat berada diatas ruangan gentong. Selang waktu yang tak begitu lama, lantai ruang kembar  yang tepat diatas ruang gentong retak secara misterius. Masyarakat sekitar mengaitkan kejadian ini dengan keberadaan ruangan gentong yang berada dibawah rute perjalanan masuk ke makam. Pengurus makam mengganggap kejadian ini sebagai pertanda nilai keramat gentong, sehingga tidak sepantasnya berjalan dengan posisi tepat diatas ruangan gentong. Akhirnya pihak pengurus berinisiatif untuk  memindahkan rute tersebut. [6]

             Gentong dikuras setiap setahun sekali pada malam 1 asyuro karena sebagai penghormatan pada bulan yang sangat  mulia dalam  islam itu.  Menguras gentong makam adalah salah satu dari sederet tradisi yang dilakukan menjelang haul atau buka luwur kanjeng sunan muria[7]

Selain air gentong makam sunan muria, situs air keramat lainnya yang dalam lingkaran mitos makam sunan muria adalah “air tiga rasa”. Situs air ini terletak di kawasan makam Syaikh Syadzili. Lokasi makam ini  berada sekitar 2 km di sebelah utara makam sunan muria, di pisahkan dua bukit dan satu sungai besar. Letak situs air ini berada di sebuah lereng terjal, beberapa meter dari tempat yang dipercaya sebagai makam Syaikh Syadzili.

            Air tiga rasa bersumber dari tiga mata air yang saling berdekatan,  hanya berjarak sekitar 20 cm. Tiga sumber mata air ini mengeluarkan air  yang beda rasanya, sehingga disebut air tiga rasa. Tidak jelas rasa yang pasti dari ketiga air ini, karena banyak  orang yang mengaku merasakan air ini dengan rasa yang berbeda. Sebagian mengatakan air  ini terasa seperti soda agak kemasaman, sebagian yang lain mengatakan air ini terasa masam seperti perisa buah asam.  Ada yang mengatakan bahwa rasa dari ketiga sumber air ini berbeda satu sama lain, namun ada juga yang mengatakan rasa ketiga air ini tidak berbeda.

            Selain diminati pengunjung karena rasanya yang unik, mereka juga percaya bahwa air ini mengandung keramat yang dapat mendatangkan manfaat kebaikan bagi yang meminumnya. Seperti halnya  air gentong muria, air tiga rasa juga diambil oleh peziarah  untuk dijadikan buah tangan. Awalnya, datang musafir dari Irak yang ingin berguru dengan Sunan Muria namanya Syaikh Hasan Syadzili. Syaikh Hasan Syadzili diperintah oleh Kangjeng Sunan Muria untuk pergi ke daerah rejenu. Lama kelamaan,  Syaikh Syadzili memiliki banyak santri dan membangun mushola yang dibawahnya terdapat sumber mata air. Beredar kabar, bahwa air tersebut dapat menghidupkan orang yang sudah meninggal. Karena telah disalahgunakan oleh masyarakat dan dikhawatirkan menjadi musyrik beliau memutuskan untuk menutup sumber mata air tersebut. Lalu muncul tiga mata air yang sampai saat ini disebut  air tiga rasa. Dan, sampai sekarang pengunjungpun masih berdatangan.[8]

Air Gentong Keramat dan Kebaikan Alam

            Konseptualisasi air dalam mitologi gentomg keramat Sunan Muria memunculkan simbol-simbol kultural, spiritual sekaligus simbol ilmiah tentang manfaat kebaikan air. Pertama, simbol kultural, secara kultural, air gentong keramat menjadi mitos pemersatu sekaligus yang membentuk cara pandandan pola laku kultural masyarakat Muria terhadap air. Air gentong ini dikemas dalam kode budaya dan ritus sedemikian rupa sehingga menyatu dan menjadi bagian dari praktik kultural masyarakat Muria pada khususnya dan para peziarah. Praktik budaya ini terekam dari tradisi mengambil air genong keramat sebagai laku konsumtif sekaligus tradisi konservasi air. Tradisi konsumtif mewujud dalam hasrat konsumsi masyarakat atas air gentong keramat, bagaimana mereka mengorbankan banyak hal untuk mendapatkan air keramat ini.

            Dalam laku konsumtif ini terdapat simbol-simbol budaya konsumtif yang memberi pesan tertentu, misalnya batasan pengambilan air yang ditetapkan oleh pengurus makam sunan Muria, sehingga para peziarah tidak dapat mengeksploitasi air secara berlebihan. Pesan ekologis dalam budaya konsumsi ini adalah pelajaran menghemat air dan budaya konsumsi air bersih.

            Simbol budaya lainnya, air gentong ini menyimpan pesan tentang paradigma kebutuhan hakiki dalam mengonsumsi air. Ketiganya, baik seruan hemat air, pola hidup bersih dalam mengonsumsi air dan prinsip kebutuhan hakiki ini memberikan gambaran, bagaimana seharusnya manusia belajar mentradisikan konsumsi air secara arif.

Simbol spiritual air gentong sunan Muria

            Kedua, simbol spiritual. Secara spiritual, mitologi air gentong keramat ini adalah adalah simbol-simbol imajiner-kritis yang mengandung paradigma spiritual dalam mengkonstruksi dan memperlakukan air. Air adalah benda suci yang memiliki nilai dan kekuatan spiritualnya. Air, sebagaimana air gentong keramat sunan Muria  adalah benda yang menjadi penyambung imajinasi spiritual manusia kepada Tuhan-Nya, selain air itu sendiri telah merupakan potensi aktual yang bersifat spiritual. Simbol-simbol spiritualitas ini terekam dalam konseptualisasi air gentong sebagai air keramat yang mendapat berkah dari Sunan Muria, dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit, memberi manfaat kebaikan seperti mencegah penyakit, membersihkan dari kotoran jiwa dan memberikan menfaat untuk kecerdasan.

            Air gentong Muria ini laksana zam-zam lokal bagi masyarakat Muria. Sebagaimana zam-zam diterjemahkan Rosulullah sebagai air yang menyimpan sejuta kebaikan dan manfaat. Kesamaan atau setidaknya kemiripan kode simbolik spiritual dalam air zam-zam dan air gentong Muria adalah inspirasi spiritual Islam tentang air sebagai benda spiritual. Ia berguna bagi aktifitas religius, ekologis, kesehatan bahkan kepentingan konsumtif-ekonomis. Dari arah inilah air diterjemahkan sebagai benda agama.

            Ketiga, simbol ilmiah konsep simbol ilmiah dalam mitologi air gentong ini terletak pada multifungsinya sebagaibenda spiritual, medis, dan juga alamiah. Ketika masyarakat Muria dan para peziarah percaya bahwa air gentong Sunan Muria adalah air keramat, menyembuhkan penyakit, membersihkan jiwa dan berbagai manfaat kebaikan alam lainnya. Simbol ilmiah ini mendapat legitimasinya, sebagaimana temuan Masaru Emoto (2006)  bahwa air dapat mentransformasi segala pesan yang masuk kedalam dirinya, sehingga dapat membentuk kualitas fisik dan kualitas manfaatnya. Jika air mendapatkan stimulus yang baik, misalnya berupa pujian, perkataan baik atau do’a tertentu, maka air akan memunculkan kristal yang indah. Sebailknya, jika air mendapatkan stimulus yang buruk seperti umpatan, kata-kata kasar atau kalimat yang buruk, maka kristal air akan memudar dan berubah menjadi bentuk yang sangat buruk.

            Setidaknya temuan ini dapat menjelaskan mengapa air murni yang dibacakan doa kepada Allah untuk penyembuhan penyakit atau untuk maksud kebaikan lainnya, maka air dapat menyembuhkan penyakit atas izin Allah juga. Demikian halnya dengan kasus air gentons Sunan Muria, ketika ia mendapatkan stimulus yang baik berupa doa, harapan, dan i’tikad baik dari pemercaya mitos kekeramatannya , maka air itu akan mentransformasi diri menjadi  kebaikan-kebaikan seperti diharapkan darinya, begitu pula sebaliknya.[9]



Fenomena Kebudayaan

            Pandangan Mircea Eliade tentang mitos mempunyai peranan yang amat penting dalam penyelidikan Eliade terhadap manusia religius arkhais. Boleh dikatakan bahwa tidak mungkinlah membicarakan manusia religius arkhais tanpa membicarakan mitos, karena mitos merupakan dasar kehidupan sosial dan kebudayaan nya. Bagi dia, mitos mengungkapkan cara beradanya di dunia. Mitos merupakan realitas kultural yang kompleks dan karena itu sulit untuk memberikan batasan-batasan yang definitif terhadapnya. Eliade memandang mitos sebagai usaha manusia arkhais untuk melukiskan lintasan yang supra-natural ke dalam dunia.[10]

            Tiada orang yang menyangkal bahwa fenomena kebudayaan adalah suatu yang khas insani. Kebudayaan menyinggung daya cipta bebas dan serba ganda dari manusia dalam alam dunia. Dari alam buta maupun dari gairah hewani tidak diharapkan karya budaya. Pun pula tidak dari roh yang transenden terhadap dunia maddi. Manusialah pelaku kebudayaan. Ian menjalankan kegiatannya untuk mencapai sesuatu yang berharga baginya, dan dengan demikian kemanusiaannya menjadi lebih nyata. Melalui kegiatan kebudayaan,   sesuatu yang sebelumnya hanya merupakan kemungkinan belaka, diciptakan baru. Tetapi jelaslah bahwa kebudayaan tidak tambah menjadi berharga oleh tambahan segala rupa hal berharga tanpa tata-susunan. Dari julah kemungkinan tak terbatas yang terbentang didepan manusia dia harus memilih. Dalam memilih ini, bersama dengan mengabaikan itu tampaklah gaya dan arah usahanya serta corak kebudayaannya.[11]







Simpulan

Terdapat banyak sekali mitos mitos yang berkembang di masyarakat Colo setempat salah satunya mengenai kekhasiatan buah Pari Joto yang banyak dijual disepanjang jalan menuju makam sunan Muria. Mereka meyakini bahwa buah Pari Joto baik untuk pembentukan otak janin. Selain itu, terdapat juga air keramat peninggalan sunan Muria yang diyakini menyimpan banyak keberkahan tersendiri yang dijadikan buah tangan sepulang ziarah makam sunan Muria.

            Buah Pari Joto, rasanya getir kemasaman. Mengandung unsur kimia berupa saponin, kardenilin, flavonoid, tanin, nutrisi dan vitamin Bg. Semuanya baik untuk membantu pembentukan otak janin. Mitos tentang Pari Joto tersebar luas ke jagad nusantara. Ia dielu-elukan si sebagai salah satu “warisan” Sunan Muria.

air gentong keramat peninggalan sunan Muria bisa dijadikan obat segala macam penyakit, selain itu bisa juga menyehatkan badan, ada juga pengunjung yang membasuh mukanya dengan air ini, mereka percaya bahwa air dari gentong ini bisa memberi aura positif bagi peminumnya.




[1] Widi, Muryono, Napak Jejak Pemikiran Sunan Muria,  LPS Fikro: Kudus, 2014. Hlm 30-33

[2] wawancara dengan Siti Amti’ah yang tengah hamil 8 bulan, 17 Oktober 2015


[3] Ibid. Hlm 32-33

[4] Ibid. Hlm 115

[5] Wawancara dengan bapak Subhan, salah satu dari Punggawa YM2SM sekaligus Tokoh Masyarakat 14 Oktober 2015 pukul 08.00 WIB


[6]  Ibid. Hlm 52-56

[7] wawancara bersama Bapak samiyono selaku petugas penjaga gentong, 14 Oktober 2015

[8] wawancara bersama Bapak Sami’un selaku penjaga makam Syaikh Hasan Syadzili Rejenu  Sabtu , 17 Oktober 2015

[9] Ibid Hlm 59-62

[10] Mircea, Eliade, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade , Kanisius: Yogyakarta, 1987. Hlm 71.

[11] Djoko, Widagdho, Ilmu Budaya Dasar , Bumi Aksara: Jakarta, 1994. Hlm 36
      edit
Comments
0 Comments