PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama adalah suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh sejumlah umat manusia, sehngga menjadikannya suatu yang sakral. Tidak dipungkiri lagi salah satu contoh, agama Islam masuk ke indonesia banyak yang berpendapat dari kegiatan perdagangan yang mana ada kaitannya dengan agama dan ekonomi. Perkembangan agama itu sendiri tak lepas dari kegiatan perekonomian yang mana juga dijadikan sebagai keyakinan dalam mempengaruhi kebiasaan kerja. Yang menjadi srotan utama yaitu hubungannya Agama dan Ekonomi. Tak lepas dari persoalan di berbagai kalangan masyarakat, ekonomi dan agama memengaruhi sistem kerja yang ada kaitannya dengan sistem kepercayaan dan bisnis. Untuk itu, disini akan dibahas mengenai agama dan hubungannya dengan ekonomi yang akan dijabarkan dalam pembahasan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian ekonomi secara Etimologi dan Terminologi ?
2. Bagaimana untuk memahami unsur-unsur agama dan ekonomi ?
3. Bagaimana hubungan Agama dengan Ekonomi
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Ekonomi
a) Pengertian Ekonomi Secara Etimologi
Ekonomi adalah pengetahuan tentang peristiwa dan persoalan yang berkaitan dengan upaya manusia secara perorangan atau kelompok, keluarga, suku, bangsa, organisasi, Negara dalam memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas yang di hadapkan pada sumber daya pemuas yang terbatas. Secara etimologi istilah ekonomi dari bahasa Yunani “oikonomia” yang terdiri dari kata ”oikos” berarti rumah tangga dan “nomos” berarti aturan. Kata “oikonomia” mengandung arti aturan yang berlaku untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam suatu rumah tangga. Dalam bahasa Arab ekonomi sepadan dengan kata “Istishad” yang artinya umat yang pertengahan, atau bisa diartikan menggunakan rezeki atau sumber daya yang ada disekitar kita. Pengetahuan ekonomi merupakan usaha untuk mendapatkan dan mengatur harta baik material maupun nonmaterial untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia baik secara individu maupun kolektif yang menyangkut perolehan, pendistribusianmaupun penggunaannya[1].
Dalam tinjauan pengertian secara bahasa (etimologi), istilah “ekonomi” berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikosnamos atau oikonamia yang berarti “manajemen urusan rumah tangga”, khusunya penyediaan dan administrasi pendapatan. Namun, sejak perolehan maupun penggunaan kekayaan sumber daya ecara fundamental perlu diadakan efisiensi, termasuk pekerja dan produksinya maka dalam bahasa modern, istilah ekonomi tersebut menunjuk kepada perinsip usaha maupun metode untuk mencapai tijuan dengan alat-alat sesedikit mungkin[2].
b) Pengertian Ekonomi Secara Terminologi
Adapun dari sisi pengertian secara istilah (terminologi), ilmu ekonomi akan dijelaskan sebagai berikut: pertama, menurut Albert L. Meyers, ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempersoalkan kebutuhan dan pemuasan kebutuhan manusia. Kata kunci dari definisi ini adalah kebutuhan dan pemuasan kebutuhan. Kebutuhan adalah suatu keperluan manusia terhadap barang dan jasa yang sifat dan jenisnya sangat bermacam-macam dalam jumlah yang tidak terbatas. Aspek yang kedua ini menimbulkan masalah ekonomi, yaitu adanya suatu kenyataan yang senjang, karena kebutuhan manusia terhadap barang dan jasa jumlahnya tidak terbatas, sedangkan dilain pihak barang dan jasa sebagai alat pemuas kebutuhan, sifatnya langka/terbatas sehingga masalah yang timbul adalah kekecewaan / ketidak pastian[3]. Kedua, menurut J.L.Meij mengemukakan bahwa ilmu ekonomi ialah ilmu tentang usaha manusia mencapai kemakmuran, karena manusia itu makhluk ekonomi(homo economicus)[4]. Ketiga, Samuel Son dan Nor Dhaus berpendapat bahwa ilmu ekonomi merupakan setudi tentang perilaku orang dan masyarakat dalam memilih cara menggunakan sumberdaya yang langka dan memiliki beberapa penggunaan alternatif penggunaaan dalam rangka memproduksi berbagai komoditi kemudian menyalurkanya baik saat ini maupun dimasa depan kepada indifidu dan kelompok yang ada dalam masyarakat. Pada hakikat ilmu ekonomi berkaitan dengan perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam maencapai kemakmuran dengan proses operasional, produksi dan distribusi komoditi dalam masyarakat.
2. Unsur Unsur Agama dan Ekonomi
a. Unsur-Unsur Agama
a) Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi.
b) Simbol agama, yakni identitas agama yang di anut umatnya.
c) Praktik keagamaan, yakni hubungan vertical antara manuia dengan Tuhan, dan hubungan horizontal atau hubungan antar umat beragama sesuai dengan ajaran agama.
d) Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
e) Umat beragama, yakni penganut maing-masing agama.
b. Unsur Unsur Ekonomi
Sistem-Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi adalah perangkat atau alat-alat yang digunakan untuk menjawab secara tuntas masalah apa, bagaimana, dan untuk siapa barang diproduksi. Efektif atau tidaknya jawaban yang diberikan sangat tergantung kepada sistem ekonomi yang dipilih. Secara umum, terdapat empat sistem ekonomi[5], yaitu :
1) Sistem ekonomi tradisional, sistem ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
(a) Tidak adanya pemisah yang tegas antara rumah tangga produksi dan rumah tangga konsumsi sehingga bisa dianggap masih dalam satu kesatuan.
(b) Teknologi yang digunakan masih sangat sederhana.
(c) Tidak terdapat pembagian kerja, jika pun ada masih sangat sederhana.
(d) Tidak ada hubungan dengan dunia luar sehingga masyarakatnya sangat statis.
2) Sistem ekonomi komando atau terpusat, sistem ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a) Kegiatan ekonomi (produksi, konsumsi, dan distribusi) diatur oleh pemerintah.
b) Kebebasan individu dalam berusaha tidak ada.
c) Kebebasan individu dalam memiliki kekayaan pribadi tidak ada.
d) Kepemilikan alat produksi sepenuhnya pada pemerintah.
e) Kegiatan ekonomi tidak melibatkan masyarakat atau swasta.
3) Sistem ekonomi pasar, sistem ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a) Kegiatan ekonomi sepenuhnya diserahkan dan dilaksanakan oleh swasta atau masyarakat.
b) Kebebasan masyarakat untuk memiliki alat-alat produksi dan berusaha diakui.
c) Hak milik perorangan diakui.
d) Keikut sertaan pemerintah dalam bidang ekonomi dilakukan tidak secara langsung dan hanya terbatas pada pembuatan peraturan dan kebijakan ekonomi.
e) kebebasan masyarakat untuk berenovasi dan berimprovisasi diakui dan dihormati.
f) Kegiatan yang dilaksanakan bersifat profit oriented.
4) Sistem ekonomi campuran, dalam sistem perekonomian haruslah kita sadari bahwa pada saat ini tidak ada satupun negara yang secara tegas menganut satu diantara tiga sistem ekonomi tersebut. China yang berpaham komunis dan sangat besar kemungkinannya menerapkan sistem ekonomi komando, maupun Amerika Serikat yang menjadi kiblat dari ekonomi pasar, tidak secara tegas menyatakan bahwa sistem ekonomi yang mereka pakai adalah sistem ekonomi komando atau sistem ekonomi pasar. Kecenderungan saat ini adalah adanya sistem ekonomi campuran (mixed ekonomy), yaitu mengambil sebagian unsur-unsur pasar yang tradisional, dan komando. Hal ini disadari kesadaran saling ketergantungan antara negara dan adanya pengaruh ekonomi global.
Dalam sistem ekonomi campuran, mekanisme harga dan pasar bebas yang dianut oleh sistem ekonomi bebas dapat berdampingan dengan adanya perencanaan dari pusat seperti yang dianut oleh sistem ekonomi komando. Satu hal yang harus dipahami, bahwa pada sistem ekonomi campuran terdapat peranan pemerintah untuk mengendalikan pasar yang bertujuan agarbekonomi tak lepas sama sekali dan menguntungkan para pemilik modal yang besar sehingga membentuk monopoli.
kajian ekonomi pada abad ini (the age of reason) tidak hanya bertolak dari asas kapitalsme dan asas marxisme, melainkan bertolak juga pada pemikiran ilmu ekonomi yang lebih terandalkan dalam menjaga keselamatan seluruh manusia dan alam semesta. Ekonomi yang memiliki nilai-nilai kebenaran (logis), kebaikan (etis), dan keindahan (estetis). Ekonomi yang dapat membebaskan manusiaq dari aksi penindasan, penekanan, kemiskinan, dan segala bentuk keterbelakangan, serta dapat meluruskan aksi ekonomi dari karakter yang tidak manusiawi, yaitu ketidak adilan, kerakusan, dan ketimpangan. Ekonomi yang secara historis-empiris telah terbuktikan keunggulannya di bumi ini tidak bebas atau tidak dapat membebaskan diri dari pengadilan nilai, yaitu nilai yang bersumber dari agama (volue committed), dialah ekonomi syariah.
Islam adalah agama wahyu yang merupakan sumber dan pedoman tingkah laku bagi manusia yang dirisalahkan sejak manusia pertama, yaitu Nabi Adam a.s dan disempurnakan melalui nabi-nabi Allah sampai kepada nabi terakhir yaitu nabi Muhammad saw. Tingkah laku ekonomi merupakan bagian dari tingkah laku manusia. Oleh karena itu, ilmu dan aktivitas ekonomi haruslah berada dalam Islam. Keunikan pendekatan Islam terletak pada sistem nilai yang mewarnai tingkah laku ekonomi. Ilmu ekonomi merupakan bagian dari ilmu agama Islam. Karena itu, ekonomi tidak mungkin dapat dipisahkan dari suprasistemnya yang digali dari Al-qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, ilmu ekonomi harus berasaskan iman, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya :
“ celakalah (siksalah) untuk orang-orang yang menipu. Bila mereka menimbang dari manusia untuk dirinya, mereka sempurnakan (penuhkan). Dan, bila mereka menimbang untuk orang lain, mereka kurangkan. Tidaklah mereka menyangka bahwa mereka akan dibangkitkan? Pada hari yang besar (kiamat)? Yaitu pada hari manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.” (Al-Muthaffifin : 1-6).
Dalam tarikh Islam, Nabi Syu’aib a.s disebut sebagai Nabi Ilmu Ekonomi yang mendasarkan ekonomi kepada iman (tauhid) terhadap adanya Allah SWT dan hari pengadilan sebagaimana firman Allah yang artinya :
“ telah kami utus kenegri Madyan seorang saudaranya, Syu’aib, ia berkata,” hai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagimu Tuhan selain dari pada-Nya, dan janganlah kamu mengurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam kebaikan dan aku takut terhadap kamuakan siksaan hari yang meliputi kamu. Hai kaumku, sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan keadilan dan janganlah kamu kurangkan hak orang sedeikit juga dan jangan pula berbuat bencana dimuka bumi sebagai perusak. Rezeki Allah yang tinggal (selain dari yang haram) lebih baik bagimu, jika kamun orang yang beriman, dan aku bukanlah orang yang memeliharamu. Mereka berkata, “ hai Syu’aib, apakah sembahyangmu menyuruh supaya kamu meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami, atau supaya kami jangan berbuat pada harta-harta kami apa yang kami sukai? Sesungguhnya engkau penyantun lagi cerdik.” (Hud : 84-87).
Kajian tingkah laku ekonomi manusia merupakan ibadah kepada Allah. Kekayaan ekonomi adalah suatu alat untuk memenuhi hajat dan kepuasan hidup dalam rangka meningkatkan kemampuannya agar dapat mengabdi lebih baik kepada Allah. Mencari dan menimba kekayaan atau pendapatan yang lebih baik untuk dinikmatinya tidaklah dikutuk Allah sepanjang diakui sebagai karunia dan amanat Allah. Adapun yang terkutuk adalah apabila kekayaan itu dijadikan sesembahan yang utama dalam hidupnya. Iman dan takwa kepada Allah memberi corak pada dunia ekonomi dewngan segala aspeknya. Corak ini menampilkan arah dan model pembangunan yang menyatukan pembangunan ekonomi dengan pembangunan agama sebagai sumber nilai (central/core value). Dengan demikian, kegiatan-kegiatan ekonomi seperti produksi, distribusi, dan konsumsi harus menggunakan pertimbangan nilai agama dan bukan oleh determinisme mekanistis ekonomi lainnya seperti pada kapitalisme dan marxisme.
Islam sejak risalah Nabi Muhammad SAW sampai kepada suatu zaman yang disebut the golden age of islam, lalu ke zaman pembekuan dan kegelapan (the dark age) merupakan pengalaman empiris dan sebagai batu ujian bagi pemikir muslim era globalisasi untuk membangkitkan kembali Islam yang akan mewarnai abad ekonomi modern dewasa ini, baik ditingkat nasional, regional maupun global. Pertemuan para ahli ekonomi muslim sedunia dalam International Conference for Islamic Aconomics yang pertama di Makkah tahun 1976telah mendorong gairah untuk menggali nilai Islam bagi ekonomi bangsa sedunia di tengah-tengah krisis kehidupan akibat sistem ekonomi kapitalis-individualistis dan marxis-sosialistis. Konsep ekonomi Islam mampu mengentas kehidupan manusia dari ancaman pertarungan, perpecahan akibat persaingan, kegelisahan dan kesirnaan akibat kerakusan, dan ancaman-ancaman keselamatan, keamanan serta ketentraman hidup manusia, kepada kehidupan yang damai dan sejahtera.[6]
3. Kajian hubungan Sosiologi Agama dengan Ekonomi
Kajian sosial tentang agama dan perkembangan ekonomi menggunakan dua pendekatan :
Pertama, kepercayaan sekte atau golongan agama dan pada karakteristik moral, serta motivasi yang ditimbulkannya. Kedua, perubahan-perubahan sosial dan ekonomi yang mempengaruhi suatu kelompok dan gerakan keagamaan yang muncul sebagai reaksi terhadap perubahan. Walaupun demikian, kedua pendapat tersebut saling menyempurnakan antara satu sisi dengan sisi lainnya[7].
Salah satu teori yang paling berpengaruh tentang hubungan timbal balik antara agama dan ekonomi dinyatakan oleh Webber dalam bukunya The protestans Ethic and The Spirit of Capitalism (1904). Webber menyatakan bahwa para pemimpin Reformasi Protestan tidak bermaksud menegakkan pondasi semangat untuk suatu masyarakat kapitalis dan seringkali mengecam kecenderungan kapitalistis dijaman mereka. Etika protestan menanamkan keutamaan-keutamaan individualisme, hidup sederhana, hemat, dan pemuliaanpekerja yang religius- praktek-praktek yang jelas membantu akumulasi kekayaan.[8]
Adanya hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi, sampai sekarang masih merangsang perdepatan dan penelitian empiris. Tensisnya dpertentangkan dengan teori Karl Max tentang kapitalisme, dasar asusmsi dipersoalkan dan ketetapan interpretasi sejarah digugat. Samuellson, ahli sejarah ekonomi Swedia, tanpa segan-segan menolak dengan keras seluruh tensis Webber. Dalam teorinya tak ada dukungan dari teori tersebut.[9]
Didalam pembahasan lain, masyarakat tradisional, agama berfungsi untuk mendorong manusia untuk terlibat dalam peran-peran dan tingkah laku ekonomi, karena agama dapat mengurangi rasa cemas dan takut. Studi yang dilakukan oleh Malinowski dikalangan masyarakat Trobiand, ditemukan bahwa masyarakat tersebut selalu mengadakan upacara ritual sebelum melakukan kegiatan mencari ikan dilaut[10].
Sedangkan di dalam masyarakat modern, peran agama terhadap kegiatan ekonomi relatif berkurang. Ekonomi umumnya menekankan pentingnya rasionalitas dan sekularisme,bsering kali menyebabkan harus berbenturan kepentingan dengan agama yang menekankan kepercayaan kepada hal-hal yang supranatural. Dengan demikian, eksistensi agama relatif terpisah dari ekonomi[11].
Di Indonesia, kenyataan menunjukkan bahwa pengembangan ekonomi Islam dimulai melalui pola kedua sehingga tidak heran jika pengembangan industri keuangan syariah tumbuh lebih cepat dibandingkan pengkajian teoritis dan konseptual dalam pembentukan sistem yang lebih komprehensif. Maka, wajar jika ada keterbatasan sumber daya insani yang memilih pemahaman secara baik aspek ekonomi dan syari’at. Hal ini menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam rangka pengembangan ekonomi Islam[12].
Keterangan-keterangan ilmiah yang dihasilkan sosiologi agama tidak akan menyelesaikan segala kesulitan secara tuntas. Segi kesulitan yang bukan sosiologis harus dimintakan resep dari ilmu yang bersangkutan. Misalnya teknologi, ekonomi, demigrafi dlsb.
Jika yang dimaksud moralitas kehidupan itu merupakan wilayah ekonomi, maka moral ekonomi inilah yang perlu kita pikirkan secara kritis agar bisa menghasilkan moralitas yang bermakna bagi kehidupan. Kalau kita kaitkan dengan konteks Indonesiadewasa ini yang tengah mengacu pembangunan ekonomi tetapi justru masih banyak pelanggaran moral yang berakibat merugikan keuangan negara. Anehnya pelanggaran itu terus berkelanjutan dengan pelaku banyak dari kalangan intelektual dan borokrat yang seharusnya menjadi uswah bagi masyarakat[13]. Lain lagi dengan etika bisnis Japang yang filosofinya nampak banyak diwarnai ajaran agama mereka. Perilaku masyarakat Japang, tanpa terkecuali dalam hubungannya dengan bisnis terbaca dari pemikirannya[14] :
a) Orang-orang Japang percaya bahwa keselarasan dipermukaan dipertahankan dengan segala upaya.
b) Didalam situasi konflik, orang-orang Japang berusaha untuk menghindari malu, bagi mereka sendiri dan seringkali juga bagi lawannya.
c) Orang-orang Japang enggan menghadapi orang lain dalam konflik terbuka.
d) Rasa memiliki kewajiban merupakan pendorong yang kuat bagi tingkah laku orang-orang Japang.
e) Kesamaan latar belakang dan kebiasaan yang saling dijaga memungkinkan mereka saling memahami, hanya dengan melalui sedikit ataupun tanpa isyarat sekalipun.
Tidak diragukan lagi bahwa legalitas bisnis dibahas dalam Al-qur’an diharapkan akan membantu kita dalam menggambarkan prinsip-prinsip dasar dari etika bisnis Al-qur’an. Ketaatan pada prinsip-prinsip ini akan memberikan jaminan keadilan dan keseimbangan yang dibutuhkan dalam bisnis dan akan menjaga aktivitas komersial pada koridor yang benar[15].
Menurut Qardhawi poros risalah nubuwah Nabi Muhammad SAW adalah akhlak. Karena itu Islam telah mengimplikasikanantara mua’malah dengan akhlak, seperti jujur, amanah, adil, ihsan, berbuat kebaikan, silaturahim, dan sayang menyayangi. Dikaitkan akhlak pada aspek hidup menyeluruh, sehingga tidak ada pemisahan antara ilmu dengan akhlak, antara politik dengan akhlak, antara ekonomi dengan akhlak, dan perang dengan akhlak,dlsb. Dengan demikian, akhlak menjadi daging dan urat nadi kehidupan Islam yang harus memandu segala aktivitas seorang Muslim[16].
Jika kita berbicara tentang akhlak dalam ekonomi Islam, maka tampak secara jelas dihadapan kita empat nilai utamanya, yaitu : rubbaniyyah (ketuhanan), akhlak, kemanusiaan, dan pertengahan. Nilai-nilai ini memancarkan keunikan dalam ekonomi Islam yang tidak dimiliki oleh sistem ekonomi manapun didunia. Nilai-nilai tersebut merupakan karakteristik syariat Islam yang kaffah, sempurna dalam segala dimensinya. Atas dasar karakteristik itu ekonomi Islam jelas berbeda dengan sistem ekonomi konvensional karena ia adalah sebuah sistem ekonomi alamiah, ekonomi humanistis, ekonomi moralistis, dan ekonomi moderat. Makna dan nilai-nilai pokok yang empat ini mempunyai dampak terhadap seluruh aspek ekonomi, baik dalam masalah produksi, konsumsi, sirkulasi maupun distribusi. Semua itu terpola oleh nilai-nilai tersebut, karena jika tidak, niscaya ke-Islam-an itu hanya sekedar simbol tanpa makna[17].
D. KESIMPULAN
Agama adalah suatu tradisi atau kepercayaan yang dianut oleh manusia itu sendiri berdasarkan kepercayaan nenek moyang mereka. Di Indonesia ada beberapa agama yang di anut oleh sebagian besar penduduknya, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Keberagamaan di Indonesia ditingkat individu memiliki ciri-ciri tersendiri melalui sikap, watak, kelakuan, dan hasrat. Sedangkan ditingkat sosial memiliki ciri-ciri keberagamaan itu terjadi karena ada perbedaan suku bangsa, agama, budaya, dan ekonomi daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Mubaraq, Zulfi. 2010. Sosiologi Agama. Malang : UIN Maliki Press.
Nawawi, Ismail. 2010. Ekonomi Islam, Persepektif Teori, Sistem, dan Aspek Hukum. Surabaya : ITS Press.
Amalia, Euis. 2009. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam. Jakarta : Rajawali Press.
Djakfar, Muhammad. 2007. Agama, Etika, dan Ekonomi. Malang : UIN Press. 2007.
Ram, Aminuddin, Sosiologi, Jakarta: Erlangga, 1984, jilid 1.
Abdullah, Taufik . Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi. Bandung: LP3ES. 1979.
Pdf oleh Sumaryono, diakses pada hari sabtu, 19 maret 2016, pukl 18:45 wib.
[1] Ismail Nawawi, Ekonomi Islam, Persepektif Teori, Sistem, dan Aspek Hukum, Surabaya: ITS Press, 2007, hlm 23.
[2] Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, Malang: UIN Maliki Press,2010, hlm 79.
[3] Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, Malang: UIN Malang Press, 2010, hlm 80.
[4] Ibid, hlm 80.
[5] Ismail Nawawi, Ekonomi Islam Persepektif Teori, Sistem, dan Aspek Hukum, Surabaya: ITS Press, 2007, hlm 15-17.
[6] Pdf oleh Sumaryono, diakses pada hari sabtu, 19 maret 2016, pukl 18:45 wib.
[7] Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, Malang: UIN Malang Press, 2010, hlm 81.
[8] Ram, Aminuddin, Sosiologi, Jakarta: Erlangga, 1984, jilid 1, hlm 311-312.
[9] Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi, Bandung: LP3ES, 1979, hlm. 4-5.
[10] Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, Malang: UIN Malang Press, 2010, hlm 81.
[11] Ibid, hlm 83
[12] Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Perss, 2009, hlm 114.
[13] Muhammad Djakfar, Agama, Etika, dan Ekonomi, Malang: UIN Press, 2007, hlm 17.
[14] Ibid, 21-22.
[15] Ibid, 25.
[16] Muhammad Djakfar, Agama, Etika, dan Ekonomi, Malang: UIN Press, 2007, hlm 26.
[17] Ibid,26-27.