BAB I
A. Latar Belakang Masalah
Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Hal ini berkaitan dengan pengalaman pengalaman manusia, baik dari individu maupun kelompok, dan setiap perilaku yang diperankan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang di anutnya.
Dalam buku American piety: The Nature of Religious Commitment, C.Y. Glock dan R. Strak (1968: 11-19) menjelaskan lima dimensi beragama, antara lain: yang pertama adalah dimensi keyakinan yaitu dimensi yang berpegang teguh pada teologis tertentu. Keduaadalah dimensi praktik agama yang meliputi perilaku simbolik dari makna-makna keagamaan. Ketigaadalah dimensi pengalaman keagamaan yang merujuk pada seluruh keterlibatan subjektif dan individual dengan hal-hal yang suci dari suatu agama. Keempat adalah dimensi pengetahuan maksudnya adalah orang yang beragama memiliki banyak pengetahuan. Kelima adalah dimensi konsekuensi yang mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan, praktik, pengalaman, dan pengetahuannya dari hari ke hari.
Dengan demikian, dimensi esoterik dari suatu agama tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan dimensi yang lain. Selain di bentuk oleh substansi ajarannya, dimensi ini juga dipengaruhi oleh struktur sosial yang mana suatu keyakinan itu dimanivestasikan oleh para pemeluknya. Selanjutnya Berger mengatakan bahwa hubungan manusia dengan masyarakat merupakan suatu proses dialektis yang terdiri atas tiga momen yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Perspektif ini sering disebut struktural fungsionalisme. Penamaan ini karena perspektif ini memusatkan perhatian pada prasyarat fungsional atau kebutuhan yang harus dipenuhi oleh suatu sistem sosial dalam mempertahankan kehidupannya dan struktur yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Perspektif ini dikenal pula sebagai fungsionalisme dengan dua alasan. Pertama, ia menjelaskan hubungan dengan istilah yang diajukan oleh pemuka perspektif ini, khususnya Durkheim, Radcliff Brown, dan Malinowski. Kedua, Talcott Parsons dan Robert Merton menggunakan istilah fungsionalisme secara konsisten.
Dalam menganalisis sistem sosial, fungsionalisme lebih menekankan tiga unsur penting, yaitu :
1. hubungan-hubungan umum dari berbagai bagian sistem.
2. situasi normal atau situasi keseimbangan, sejajar dengan kondisi normal atau sehat dalam tubuh manusia.
3. cara semua bagian dari sistem melakukan reorganisasi akan membawa kembali sistem pada situasi normal.
Para pendahulu dari fungsionalisme modern adalah Comte Spencer, Pareto, dan Durkheim serta terakhir Radclife Brown dan Malinowski. Comte, Spencer, dan Pareto menekankan saling ketergantungan bagian-bagian dari suatu sistem sosial. Durkheim menekankan pada integrasi atau solidaritas, yang kemudian mengilhami analisis Radclife Brown dan Malinowski atas fungsi institusi-institusi sosial.
Herbert Spencer (1820-1903) perlu diakui sebagai perintis fungsionalisme, karena konsepnya mengenai diferensiasi. Spencer mengartikan konsep ini sebagai ketergantungan timbal-balik dari berbagai bagian yang berbeda dalam sistem yang timbul sebagai akibat peningkatan jumlah anggota masyarakat. Dengan cara yang sama, fungsionalis medern mengidentifikasi diferensiasi sebagai salah satu aspek penting dalam saling ketergantungan dan integrasi dalam sistem sosial. Teori evolusi Spencer umumnya mempengaruhi teori Durkheim yang tertuang dalam The Division Labour in Society, sebuah teori yang berpengaruh besar atas fungsionalisme modern. Terdapat dua perbedaan besar. Pertama, Durkheim tidak memandang diferensiasi sosial sebagai sebuah kebutuhan yang mutlak sebagaimana dipahami oleh Spencer. Kedua, Durkheim memandang fakta sosial sebagai wilayah kajian yang sebenarnya dari sosiologi. Durkheim berbeda dengan posisi Spencer yang cenderung reduksionis, bahwa sebab kemajuan sosial adalah hal-hal yang bersifat psikologis, faktor penentu kebahagiaan yang lebih baik adalah individual. Dalam hubungan ini, fungsionalisme mengikuti pemikiran Durkheim. Namun, Parson, menggunakan pemikiran Spencer mengenai diferensiasi sosial dalm teori perubahan sosialnya. Durkheim membicarakan wilayah kajian yang sesungguhnya dari sosiologi, yaitu fakta sosial, sesuatu yang umum yang mencakup keseluruhan masyarakat dan berdiri sendiri serta terpisah dari manivestasi individu.
Dua antropolog yang mengadopsi analisis fungsional Durkheim adalah Bronislow Malinowski (1884-1942) dan anthur Radclife Brown (1881-1955). Yang tertarik pada karya Durkheim, Brown, Malinowski merupakan peneliti pertama yang menggunakan istilah fungsional bagi penelitian ini. Salah satu hubungan antara karya meraka dan fungsionalisme modern dalam sosiologi terlihat ketika Parsons belajar kepada Malinowski saat ia di London School of Economics. Inti pembahasan Parons adalah konsep sistem. Ia mengatakan bahwa “ konsep sistem dalam tindakan sangat sentral “. Teori umumnya tentang tindakan mencakup empat sistem, yaitu: sistem kebudayaan, sosial, kepribadian, dan perilaku organisme. Menurutnya, unit analisis dari sistem kebudayaan adalah sistem makna atau sistem simbol. Di antara contoh sistem simbolik adalah keyakinan agama, bahasa, dan nilai kebangsaan. Pada tahap ini, Parsons memusatkan pada nilai yang diterima secara umum.
Parsons menetapkan tentang “ kebutuhan “ yang diperlukan sistem tindakan dalam mencapai keseimbangan. Ia beranggapan bahwa semua sistem tindakan menghadapi empat masalah utama atau masalah kebutuhan, yaitu adaptation, goal attainment, integration, dan latent pattern maintenance disingkat AGIL. Sistem tindakan itu membutuhkan adaptasi atau adaptation (A) terhadap realitas lingkungan fisikal melalui sistem perilaku organik. Hasil adaptasi tersebut membutuhkan perumusan tujuan atau goal attainment (G) melalui sistem kepribadian. Perumusan tujuan tersebut kemudian diintegrasikan atau integration (I) melalui sistem sosial. Akhirnya, hasil integrasi dipolakan atau latency (L) sedemikian rupa melalui sistem kebudayaan.
Fungsi adptasi dipenuhi melalui lembaga ekonomi, fungsi perumusan tujuan dipenuhi oleh lembaga politik, fungsi integrasi dipenuhi oleh lembaga hukum, dan fungsi pemolaan dipenuhi oleh lembaga keluarga, pendidikan, dan agama. Keempat sistem dalam sistem tindakan merupakan prasyarat bagi terciptanya keseimbangan sosial. Keempatnya berhubungan satu sama lain secara komplementer. Jika salah satu sistem tidak bekerja, sistem secara keseluruhan akan terganggu. Karena itu, dibutuhkan reorganisasi dari keempat sistem tersebut sehingga keseimbangan sistem tercipta kembali.
Dalam keadaan demikian, secara langsung atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan berbagai pranata yang ada dalam masyarakat (keluarga, ekonomi, politik, dan pendidikan), dipengaruhi, digerakkan, dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah agama yang dianutnya dan terwujud dalam kegiatan para warga masyarakatnya sebagai tindakan dan karya yang diselimuti oleh simbol-simbol suci. Keyakinan agama yang sifatnya pribadi dan individual bisa berupa tindakan kelompok. Dalam kehidupan berkelompok atau bermasyarakat inilah, tradisi keagamaan yang dimiliki oleh individu menjadi bersifat kumulatif dan kohesif, yang menyatukan keanekaragaman interpretasi dan sistem keyakinan keagamaan. Penyatuan keanekaragaman itu dapat terjadi karena pada hakikatnya dalam setiap kehidupan berkelompok terdapat pola interaksi yang melibatkan dua orang atau lebih, yang dari pola tersebut para anggotanya secara bersama memiliki satu tujuan atau beberapa tujuan utama yang diwujudkan sebagai tindakan berpola. Itu dimungkinkan karena kegiatan kelompok itu terarah atau terpimpin berdasarkan norma yang disepakati bersama, yang terwujud dari kehidupan berkelompok. Adanya norma itu sebenarnya juga merupakan sistem status yang menggolongkan anggotanya pada beberapa status yang bertindak atau hierarki, yang masing-masing mempunyai kekuasaan dan kewenangan serta prestise yang berbeda sesuai dengan tujuan utama yang ingin dicapai oleh kelompok tersebut.
Disaat kepercayaan orang terhadap modernisme semakin melemah ( pada sejumlah kelompok masyarakat ), tumbuh kembali keyakinan keagamaan yang semakin kuat yang menyatakan bahwa agama adalah satu-satunya media yang dapat memberikan alternatif jawaban terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi manusia dalam beragam dimensinya. Berdasarkan pengamatan, situasi perkotaan berbeda dengan situasi pedesaan. Masyarakat perkotaan jauh lebih komplek dibandingkan dengan masyarakat pedesaan yang relatif lebih sederhana. Karena itu, masyarakat perkotaan penganut ajaran tarekat akan memiliki karakteristik perilaku keagamaan yang khas.
Jadi, seseorang yang menganut agama akan merefleksi dalam bentuk kehidupan masyarakat melalui ekspresi teoritis, ekspresi praktis, dan dalam persekutuan. Begitu pula faktor-faktor sosial dan nilai-nilai kultural lokal memberikan nuansa keragaman perasaan dan sikap keagamaan bagi individu yang terdapat dalam lingkungan sosial tertentu.
BAB II
KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
Setiap agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan hidup, bukan saja antar manusia, tetapi juga antar sesama makhluk tuhan penghuni semesta ini. Di dalam terminologi Al-qur’an misi suci itu di sebut rahmah lil al-alamin(rahmat dan kedamaian bagi semesta), setiap agama memiliki kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran, keyakinan tersebut menjadi legitimasi dari semua perilaku pemaksaan konsep-konsep gerakannya kepada manusia lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan mereka. Kita memang sulit melepaskan kerangka (frame) subjektivitas ketika keyakinan pribadi berhadapan dengan keyakinan lain yang berbeda, meskipun ada yang berpendapat bahwa kerangka subjektif adalah cermin eksistensi yang alamiah.
Dengan demikian, pluralisme bisa muncul pada masyarakat dimanapun ia berada, ia selalu mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin cerdas, tidak ingin dibatasi oleh sekat-sekat sektarianisme. Pluralisme harus dimaknai sebagai konsekuensi logis dari keadilan illahi bahwa keyakinan seseorang tidak dapat di klaim benar atau salah tanpa mengetahui dan memahami terlebih dahulu latar belakang pembentukannya, seperti lingkungan sosial budaya, referensi atau informasi yang diterima, dan juga tingkat hubungan komunikasi.
Islam dan pluralitas Agama
Al-qur’an sebagai wahyu Allah, dalam pandangan dan keyakinan umat islam adalah sumber kebenaran dan mutlak benarnya. Meskipun demikian, kebenaran mutlak itu tidak akan tampak manakala al-qur’an tidak berinteraksi dengan realitas sosial, atau menurut Quraish Shihab dibumikan, dibaca, dipahami, dan di amalkan. Al-quran mengakui masyarakat terdiri atas berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri.
Sebagai ideologi dan gerakan politik, pluralisme pernah diteladankan oleh Rasulullah Saw kepada Umar dan di teruskan kepada para khalifah. Bukti-bukti empiris pluralisme islam terjadi dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik yang konkret di Andalusia.
Langkah bijaksana bagi setiap umat adalah belajar dari kenyataan sejarah, yaitu sejarah yang mendorong terwujudnya masyarakat plural dan integratif. Oleh karena itu, agenda yang perlu dirumuskan oleh umat islam indonesia adalah mengubah pluralisme sebagai ideologi dalam kehidupan konkret, tentu saja umat islam harus mampu menahan diri dari hasrat alami manusia, yakni kehendak untuk berkuasa, sehingga mampu bersikap toleran terhadap pihak lain dan menghindari hegemoni dan dominasi politik. Agama bukan hanya dipandang sebagai instrumen mobilisasi politik, tetapi yang lebih penting adalah memperlakukannya sebagai sumber etika dalam interaksi, baik diantara sesama penguasa maupun antar penguasa dengan rakyat. Ketika pluralisme ini bisa di tegakkan, tidak akan terjadi rangkaian kerusuhan, pertikaian, dan perusakan tempat-tempat ibadah.
Kerukunan Antar agama
Konsep kerukunan antarumat beragama pernah dirumuskan dan di tetapkan oleh pemerintahan Orde baru dengan melibatkan semua tokoh-tokoh agama yang ada di indonesia, selama masa Orba reltif tidak ada konflik antar pemeluk agama yang berbeda. Mungkin orang akan mengira bahwa itu merupakan keberhasilan menerapkan konsep kerukunan, bisa saja kita menduga-duga keberhasilan menerapkan kerukunan umat beragama di indonesia semasa Orde baru sejalan dengan kebijakan politis penguasa pada waktu itu, yakni stabilitas nasional demi berlasungnya proses pembangunan nasional yang lebih menekankan pada pendekatan keamanan.
Agar kerukunan hidup antarumat beragama menjadi etika dalam pergaulan kehidupan beragama, Hugh Goddard, seorang murid kristiani inggris yang ahli teologi islam, mengingatkan, demi kerukunan antarumat beragama, harus dihindari penggunaaan “standar ganda”. Melalui standar ganda inilah, muncul prasangka-prasangka teologis yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan antarumat beragama, ada-tidaknya keselamatan dalam agama lain, seringkali ditentukan oleh pandangan mengenai standar ganda kita. Dalam sejarah, standar ganda ini biyasanya di pakai untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis dibawah agamanya sendiri. Melalui standar ganda inilah terjadinya perang dan klaim-klaim kebenaran dari satu agama atas agamaa lain.
Reinterpretasi pesan-pesan Agama
Di sini para ulama atau para pemuka agama sangat dibutuhkan dalam melakukan reinterpretasi agama, ulama diharapkan berperan langsung dalam melakukan pencerahan kepada masyarakat melalui upaya reinterpretasi agama, sehingga pesan-pesan agama menjadi fungsional serta ajaran keadilan, toleransi, dan cinta kasih yang terkandung di dalam agama menjadi implementatif dan integratif dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Dengan demikian, agama selayaknya berfungsi menafsirkan kenyataan hidup dan mengarahkan maksudnya memiliki fungsi interpretatif dan fungsi etis. Dalam perspektif ini, agama tidak hanyut dan tenggelam dalam politik, dan politik pun tidak memperalat agama.
BAB III
A. Dialektika Agama dan Modernitas
1. Dinamika Agama
Agama kerap diasumsikan bertolak belakang dengan modernitas. Perbedaan pandangan tersebut dapat dilihat dari dua faktor.
Pertama, dikotomi ini ibarat pemisahan antara alam langit dan alam bumi. Realitas bumi secara prinsip dalam khazanah masyarakat modern dianggap sebagai realitas objektif, sedangkan realitas langit dianggap sebagai realitas subjektif.
Bagi masyarakat agama, justru sebaliknya. Realitas langitlah yang merupakan realitas objektif dan realitas bumi sebagai subjektif. Oleh karena itu, dalam tingkatan ilmu tertinggi (paling objektif). Sementara agamis teknologi adalah ilmu rendah. Dalam masyarakat modern, teknologi dengan logic of technic merupakan ilmu tertinggi, sementara agama merupakan ilmu yang rendah.
Kedua, dari segi asal-usul. Menurut masyarakat agama dalam pengertian orisinal tadi, Tuhan adalah dasar atau asas dari segalanya. Bagi masyarakat modern, manusia adalah dasar dari realitas ini dan Tuhan merupakan penafsiran manusia. Adapun bagi kaum agamawan, pada awalnya manusia adalah tafsiran Tuhan.
2. Masalah Agama
Yang diungkapkan Erich Rohman, bahwa kebutuhan manusia akan agama, berakar dalam kondisi dasar eksistensi spesies manusia. Manusia memerlukan objek pengabdian semacam agama agar dapat mengatasi eksistensisnya yang terisolasi dengan semua keraguan dari ketidakmampuannya menjawab arti hidup.
Thomas F. O’Deamenyebutkan ada enam fungsi agama, antara lain:
Pertama, agama mendasarkan diri manusia pada segala sesuatu di luar dirinya. Ia memberikan dukungan moral dari ketidakpastian hidup manusia. Ia juga memberikan berbagai alternatif penyelamatan dari kekecewaan dan kesedihan, serta kegelisahan manusia.
Kedua, agama menawarkan suatu hubungan transendental melalui pemujaan dan peribadatan, dengan memberikan dasar emosional bagi rasa aman dan identitas yang lebih kuat di tengah ketidakpastian dalam hidupnya, serta dalam menghadapi perubahan sejarah dirinya.
Ketiga, agama mensucikan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat yang telah dan akan terbentuk. Agama juga mempertahankan dominasi tujuan kelompok di atas kepentingan dan dorongan individu.
Keempat, agama dapat memberikan standar nilai berupa norma-norma yang telah terlembaga yang dapat dikaji kembali secara kritis. Kelima, agama memberikan kesempatan bagi individu untuk mengenali identitas dirinya, baik pada masa lampau maupun masa mendatang yang tak terbatas. Agama memperluas ego manusia dengan memberikan spirit bagi alam semesta.
Keenam, agama berkaitan dengan evolusi hidup manusia. Perkembangan usia seseorang mempengaruhi karakteristik tingkat keberagamaan manusia. Dengan demikian, agama sebagai pandangan dunia (weltanchauung) sesungguhnya tidak dipisahkan dari manusia. Dengan bahasa ilmiah empiris, dapat dikatakan bahwa kecenderungan asli atau dasar manusia adalah menyembah Tuhan. Tampaknya, posisi agama dalam konteks personalitas demikian tidak banyak mempertentangkannya.
Agama Sebagai Kategori
Orientasi Weber tentang “dunia” dan “akhirat” tetap merupakan kategori-kategori analisa yang berguna sejauh kita menyadari bahwa orientasi tersebut dibangun dengan acuan orientasi mental seorang pelaku, yang tetap harus membentuk keseimbangan operasional antara keberadaan fisik dan sosial primer pelaku tersebut terhadap yang lain, di lain pihak, atau selanjutnya keseimbangan antara dunia dan yang lebih luas, semesta kosmos yang lebih inklusif.
Hubungan antara “dunia” dan “akhirat” atau “alam baka” dikonsepsikan secara berbeda-beda oleh para penganut agama yang bersangkutan:
a. Bagian-dalam-keseluruhan: kehidupan ini adalah sebutir debu belaka dalam kosmos yang dapat dikonsepsikan kurang lebih tak berbentuk, tak mengenal waktu dan arah, atau sangat terstruktur.
b. Pencerminan: kehidupan ini adalah lawan dari peradaban “alam akhirat”, seperti dalam surga primitif di mana kehidupan adalah sama di atas bumi, hanya “dispritualkan”;
c. Emanasional: kehidupan adalah variable terikat dari Ide, seperti dikemukakan Hegel;
d. Ketergantungan dan kesatuan: kehidupan ini adalah landasan bagi keberadaan yang lain yang “lebih tinggi”, jalur yang diperlukan secara berturut-turut melalui “lembah air mata, di mana pada masa itu roh mengalami ujian kesungguhan moral-spiritual, pada akhirnya diadili, dihukum atau diganjar, masing-masing terjadi pada suatu peristiwa besar (misalnya, Hari Pengadilan) atau interval-interval berkala (misalnya, reinkarnasi yang silih berganti), bagi yang berhasil melampauinya dengan baik akan memperoleh ganjaran derajat tertinggi, atau kenistaan bagi yang gagal – yakni, dosa, cacat, keburukan – dan terserap ke dalam keabadian yang tak mengenal waktu.
Jadi, Agama itu berkaitan dengan agama itu sendiri, dalam berbagai perpaduan, dengan masalah etika, kosmologis dan eskatologis, tetapi sama sekali tidak dengan cara yang sama atau dengan bobot penekanan yang sama; sebenarnya, setiap kaitan hubungan ini dapat benar-benar dihilangkan.
3. Masalah Modernitas
Penyebutan masa kini sebagai “zaman modern” bukan tanpa kritik. Kritik itu muncul karena inti dan hakekat zaman sekarang bukanlah kebaruannya (modern pasti baru). Asumsi ini menegaskan seolah-olah sesudah tahap ini tidak ada lagi yang berarti berikutnya. Di samping itu, istilah “modern” mengisyaratkan penilaian yang cenderung positif. (modern berarti menjadi baik). Padahal dari sudut hakekatnya, zaman modern itu bersifat netral. Meskipun penyebutan zaman sekarang sebagai “zaman modern” merupakan konvensi yang salah kaprah, tetapi kita terlanjur menerimanya begitu saja. Secara hakiki zaman sekarang lebih tepat disebut sebagai zaman teknik (technical age). Alasan ini didasarkan pada peran sentral teknik serta bentuk-bentuk kemasyarakatannya yang terkait dengan teknikalisme. Wujud keterkaitan antarsegi-teknologis diacu sebagai dorongan yang besar pertama umat manusia memasuki zaman sekarang ini, yakni Revolusi industri dan Renaisans di Prancis.
Aufklarung sebagaimana dilansir Foucalat adalah sebuah periode yang menciptakan visi, ajaran, dan aturan sendiri. Ia adalahsebuah periode yang mampu menuturkan sejarah umum pemikiran serta bentuk-bentuk pengetahuan, kedunguan, dan ilusi yang memungkinkan manusia menyadari situasi historis yang dihidupinya.
B. Gejala dan Definisi Modernisasi
Secara harfiah, istilah modern mengacu kepada pengertian “sekarang ini”. Istilah ini dianggap sebagai lawan dari istilah ancient atau traditional. Dengan demikian, kedua istilah itu merupakan tipe ideal dari dua tatanan masyarakat yang berbeda. Pada tertentu yang ditemui sekarang ini. Dalam pengertian ancient atau traditional, mencakup “pengertian sisa” (residual sense) dari ciri-ciri masyarakat modern. Istilah modern kemudian berkembang menjadi salah satu istilah teknis akademis. Perkembangan istilah tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah Peradaban Eropa. Istilah modern berkaitan erat dengan Eropa abad pertengahan, Renanaisance, Aufklarung, hingga mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan ke-20.
Batasan modernisasi tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan. Keuntungannya adalah kemudahan dalam mengukur tingkat perkembangan manusia. Indikator perkembangan dari modernisasi masyarakat tersebut memungkinkan semua masyarakat yang dikenal ditempatkan pada suatu garis lanjut (continum) menurut besar-kecilnya modernisasi. Proses modernisasi dan bentuk modernisasi yang dicapai oleh setiap masyarakat akan berbeda-beda. Berdasarkan luasnya gejala modernisasi, masing-masing disiplin ilmu sosial telah memusatkan perhatian pada unsur-unsur yang berbeda dari proses modernisasi. Modernisasi berarti pula tumbuhnya kompleks industri yang besar, tempat barang konsumsi dan produksi dihasilkan secara massal. Adanya kompleks industri mengimplikasikan tentang adanya organisasi yang kompleks guna mendirikan, menyelenggarakan, dan mengembangkan aparat produksi.
C. Beberapa Pandangan Tentang Proses Modernisasi
Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa modernisasi ditentukan oleh adanya sikap-sikap modern tertentu. Dengan perkataan lain, sikap-sikap modern merupakan prasyarat bagi keberhasilan proses modernisasi. Pandangan ini diwakili oleh David McClelland dan Max Weber.
Kedua, Gerschenkron mengusulkan prinsip “keluwesan” (substitutalibility). Nilai-nilai yang pada umumnya dipandang tradisional dapat mempercepat modernisasi sangat bergantung pada konteks social dan untuk apa nilai-nilai itu digunakan.
Cikal bakal modernisasi berasal dari munculnya gerakan pemikiran abad pertengahan – yang disebut sebagai Zaman Pencerahan – yang membawa implikasi perubahan mendasar hampir dalam semua kehidupan manusia. Disisi lain terjadi krisis global yang tidak diharapkan dalam kehidupan social: munculnya dekadensi moral dan kekacauan kemanusiaan yang melahirkan manusia merampas hak orang lain dan tidak mempedulikan nasib manusia yang lainnya. Capra, dalam bukunya Titik Balik Peradaban (1980), menulis: “Banyak kejadian yang tragis dan paradoks di dunia ini, misalnya berjuta-juta anak yang kekurangan makan dan bergizi buruk; sementara perlombaan senjata yang menelan dana jutaan dolar menjadi prioritas utama dalam anggaran belanja Negara-negara sedang berkembang. Ini merupakan kenyataan paradoks yang melanda hampir di semua Negara pada masa modernisasi mulai berjalan.”
Sebagai penerapan ilmu pengetahuan dalam setiap aspek kehidupan, modernisasi berakar pada kesadaran abad sebelumnya (abad ke-14), yang disebut sebagai “Abad Pencerahan”. Semboyannya adalah “Beranilah Berpikir Sendiri”. Sikap umum manusia produk “Abad Pencerahan” terhadap agama kurang bersahabat.
D. Globalisasi dan Dampaknya
Menurut Luhmann, globalisasi dan modernisasi itu sangat dekat hubungannya sehingga membicarakan globalisasi dunia, orang tidak bisa lupa membicarakan semakin modernnya dunia. Modernisasi dunia, kata Luhmann merupakan akibat signifikan dan westernisasi yang digelar oleh Negara-negara kapitalis sekalipun membawa problem sendiri seperti adanya perbedaan Negara dan integrasinya, sehingga yang dibutuhkan dalam transformasi masyarakat adalah perlunya jaringan komunikasi yang memadai dan berlangsung terus-menerus.
Dari globalisme memunculkan apa yang dinamakan Neoliberalisme. Neoliberalisme sendiri merupakan istilah yang belakangan ramai diperdebatkan. Neoliberalisme merupakan kelanjutan dari liberalisme ekonomi yang berlandaskan pada penjajahan non fisik pada Negara-negara di Selatan, utamanya oleh Negara-negara di Utara. Negara-negara di Selatan adalah Negara penghutang, sementara Negara di Utara adalah pemberi utang.
Tempat Agama
Dimana tempat agama ketika globalisasi dan neoliberalisme menghantam Indonesia?
Pertama, agama akan menjadi penghalang utama adanya globalisme dan neoliberalisme karena pada prinsipnya agama tidak mengajarkan adanya hidup berlebihan. Berlebihan dalam konsumsi dan berkarakter yang menjadi ciri khas globalisme dan neoliberalisme merupakan musuh utama agama (Islam). Ini jelas menjadi rujukan yang dapat dicarikan referensinya dan normatif agama (Islam). Orang yang dalam beragama benar-benar mengamalkan dan mengikuti petunjuk kitan suci tidak akan mudah tergelincir dalam tarian globalisme dan neoliberalisme.
Kedua, agama akan bersifat kritis atas globalisme dan neoliberalisme sebab agama sebenarnya memiliki elan vital untuk melakukan “perlawanan” atas hal-hal yang dianggap kurang berpihak pada kelompok terpinggirkan, mustadafin dan tidak beruntung. Paham ini meyakini bahwa agama dengan kekuatan revolusionernya akan mampu melakukan kritik atas perkembangan globalisme dan neoliberalisme dalam dunia ini, termasuk di Indonesia.
Ketiga, agama (Islam) di Indonesia akan mendukung lajur globalisme dan neoliberalisme karena agama yang berkembang adalah paham agama yang menempatkan bahwa globalisme dan neoliberalisme merupakan bagian dari sunatullah alias tidak mungkin ditolak kehadirannya. Bahkan elit agama akan mencarikan dasa-dasar legitimasinya tentang globalisme dan neoliberalisme sebagai sumber keberkahan.
BAB IV
AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOG
1. Agama Menurut Pandangan para Sosiolog
Dalam masyarakat yang sudah mapan, agama merupakan salah satu struktur institusional penting yang melengkapi keseluruhan sistem sosial. Akan tetapi masalah agama berbeda dengan masalah pemerintahan dan hukum , yang lazim menyangkut alokasi serta pengendalian kekuasaan. Masalah inti dari agama tampaknya menyangkut sesuatu yang masih kabur serta tidak dapat diraba, yang realitas empirisnya sama sekali belum jelas. Dalam sosiolog Itali Vilfredo Pareto, masalah ini menyangkut dengan apa yang disebut, “pengalaman transenden”, mengartikan pengalaman atas kejadian yang ada sehari-hari dan yang dapat diamati atau penyaringan dan penanganan yang sistematis terhadap pengalaman secara ilmiah.
Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublim, sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu. Tetapi agama telah pula dituduh sebagai penghambat kemajuan manusia, dan mempertinggi fanatisme dan sifat tidak toleran. Catatan yang ada menunjuk agama sebagai salah satu penghambat tatanan sosial yang telah mapan. Tetapi agama juga memperhatikan kemampuaannya melahirkan kecenderungan yang sangat revolusioner. Emile Durkheim seorang pelopor sosiologi agama di perancis mengatakan bahwa agama merupakan sumber semua kebudayaan yang sangat tinggi, sedangkan Karl Marx mengatakan bahwa agama adalah candu bagi manusia. Jelas agama menunjukkan seperangkat aktivitas manusia dan sejumlah bentuk-bentuk sosial yang mempunyai arti penting.
Yang pertama, dari pernyataan Durkheim diatas diperkuat dengan anggapan lain mengenai agama. Agama dipandangnya merupakan aspek sakral dari masyarakatnya. Agama, menurutnya, tidak berkenaan dengan supra natural, tetapi berkenaan dengan sesuatu yang sakral. Dalam pandangan lain oleh Durkheim, manusia atau masyarakat yang mempercayainya (sakral) itu sajalah yang menjadikannya suci atau bertuh, tidak adanya karena sesuatu yang lain atau istimewa dalam benda tersebut. Suci atau sakral bukan sifat benda itu sendiri, tetapi diberikan oleh manusia atau masyarakat yang mensucikannya kepada benda yang disucikan.
Agama Menurut pandangan Durkheim telah kehilangan `roh' nya sebagai pengikat solidaritas sosial. Karena agama yang dipahami orang adalah abstrak dan tidak membumi. Maka agama masyarakatlah yang mampu mengikat masyarakat Tesis ini berusaha menelusuri akar-akar pemikiran Durkheim tentang Agama. Pilar pembahasan diawali dengan pandangan Durkheim tentang masyarakat, Sosiologi (fakta sosial), moralitas dan agama. Kemudian faktorfaktor dan akar-akar pemikiran durkheim diidentifikasikan dan dianalisis. Dari pembahasan ditemukann bahwa agama dalam pengertian Durkheim adalah kepercayaan masyarakat yang turun temurun, bukan agama dalam pengeritan agama samawi. Pemikirannya tentang agama sangat positivistik-sekuler.
Karakteristik yang paling mendasar ditemukan Durkheim dari setiap kepercayaan agama yaitu tidak terletak pada yang supranutural, tetapi pada konsep tentang “yang sakral”. Pada hakikatnya dalam kehidupan beragama maupun orang-orang religius selalu membagi dunia menjadi dua bagian yang terpisah: “dunia yang sakral” dan “dunia yang profan”. Hal-hal yang sakral diidentikkan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa,selalu dihormati, tidak di sentuh. Sebaliknya, hal-hal yang profan didentikkan dengan keseharian hidup dan bersifat biasa-biasa saja. Konsentrasi utama agama terletak pada yang sakral.
Kedua, dari Clifortd Geertz yang mengartikan agama di Jawa memiliki tiga tipe kebudayaan yaitu abangan, santri, dan priyayi. Geertz menjelaskan tentang adanya Agama Jawa yang memiliki konflik serta Integrasi, seperti yang dipaparkan diatas yaitu pembagian kebudayaan di Jawa.
1. Tradisi keagamaan Abangan yang terutama memiliki corak ritual yang khas disebut dengan slametan, kepercayaan yang kompleks dan rumit mengenai makhluk halus, dan seperangkat teori, praktik pengobatan, sihir, dan ilmu gaib adalah subvarian terpenting dalam sistem keagamaan orang jawa secara umum. Dan abangan mewakili penekanan pada aspek animistis dari sinkretisme Jawa dan secara luas dihubungkan dengan golongan petani.
2. Santri, merupakan substradisi Islam yang lebih murni, walaupun lebih umum dan lebih luas subvarian santri ini dihubungkan dengan unsur dagang orang Jawa, tetapi juga ada kaitannya dengan petani kaya dengan mendirikan sekolah-sekolah agama.
3. Priyayi, pada mulanya hanya digunakan untuk menyebut kalangan turun- temurun oleh Belanda yang diambil mudah dari raja-raja pribumi yang ditaklukkan kemudian diangkat sebagai penjabat sipil yang di gaji. Namun, dengan berkembangnya waktu kedudukan sosial politik yang menempati kalangan priyayi tak lagi diduduki oleh kalangan elit saja, akan tetapi mulai merambah di kalangan keturunan rendahan.
2. Pengaruh Agama terhadap Umat Manusia
Hubungan Agama dengan masyarakat menyajikan sebuah dilema fundamental yang bisa dikedepankan dalam tiga aspek. Aspek pertama dan yang terpenting, agama melibatkan manusia pada situasi akhir dititik mana lahir kesadaran akan hal tertinggi. Kedua, agama menyangkut hal-hal yang suci, karena itu agama berkenaan dengan pemahaman dan tanggapan khusus yang membutuhkan keluhuran pandang atas obyeknya. Agama merupakan model kesadaran yang sangat lain dibanding dengan suasana sekuler, secara fundamental ia disebut heterogen. Ketiga, agama dilandaskan pada keyakinan, karena itu obyeknya adalah supraempiris dan ajarannya tidak mungkin diperagakan atau dibuktikan secara empiris.
Agama sebagai unsur penting dalam kebudayaan memberikan bentuk dan arah pada fikiran, perasaan, tindakan manusia. Ia menyeimbangkan orientasi nilai, aspirasi dan ego ideal manusia. Tetapi agama bertumpu pada keyakinan diatas suatu kesepakatan kepada supra empiris. Jadi agama menunjukkan dirinya sebagai pemeraga dilema. Manusia beragama pasti hidup dan berhubungan dengan dua dunia pengalaman yang heterogen dan tidak berkesesuaian. Agama merupakan dorongan bagi pengembangan pemahaman manusia atas diri, perilaku, fikiran, dan perasaannya, serta hubungannya dengan manusia lain yang dijumpainya dalam masyarakat.
Dalam pandangan beragama sebenarnya memiliki kepenganutan yang berbeda-beda, pandangan yang beragam itu sebenarnya semakin menunjukkan adanya kesatuan diantara (para penganut) agama-agama yang secara intuitif telah ditangkap oleh Scheilermacher ketika ia mengatakan, “Semakin pesat kemajuan dalam agama, semakin tampak bahwa dunia keagamaan adalah satu kesatuan yang tak terbagi”. Hal ini membuktikan bahwa agama berpengaruh terhadap kehidupan manusia sehingga, walaupun bermacamam-macam kepercayaan yang mereka anut akan tetapi memberikan warna dalam pemersatu dan kesatuan pada umat beragama. Dalam kajian ini, pengaruh agama bagi kehidupan manusia antara lain:
a. Agama Sebagai Menuju Jalan Penyelamatan
Ilmu Humaniora tidak sering memberikan jawaban dan penjelasan yang memuaskan mengenai tujuan kehidupan manusia. Saat setiap orang mengejar berbagai tujuan dengan beragam cara, masyarakat yang terorganisasikan tidak akan berbentuk. Agama mampu memberikan tujuan tertinggi sehingga masyarakat memiliki kesamaan arah dan tujuan serta tanggung jawab untuk mewujudkan suatu tantangan masyarakat yang berkeadilan. Dengan demikian, setiap anggota masyarakat terhindar dari rasa ketakutan dan menjadi sumber untuk bertahan hidup, maju, dan berkembang.
Agama hanya dapat menjalankan perannya secara efektif dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, diperlukan tiga keyakinan yang bersumber dari keyakinan Ibrahim untuk menjadikan keselamatan atau perdamaian sebagai inti ajarannya. Sebagai contoh, Islam berarti penyerahan diri secara total terhadap kehendak Allah SWT. Dan perdamaian diantara sesama manusia dengan cara melakukan perbuatan yang baik serta meninggalkan perbuatan yang jelek. Demikian pula, bagi Yahudi, mengacu pada pengertian keharmonisan organik, pemenuhan kewajiban, penunaian tugas, kebaikan atau rekonsiliasi atas berbagai pertentangan.
Perlu disadari bahwa masalah pluralisme Agama tersebut merupakan sebuah kerugian besar bagi nilai-nilai keagamaan. Perpecahan antar agama merupakan kerugian intelektual dalam melawan sekularisme. Ketika sebuah masyarakat mengabaikan nilai-nilai keagamaan, masyarakat tidak akan dapat memelihara peradaban yang akan mengarahkan manusia pada kualitas tertinggi. Dalam hubungan ini, para penganut agama dituntut untuk bekerja sama dalam rangka mengedepankan nilai-nilai keagamaan universal sehingga mereka menjadi nilai publik melalui proses integrasi.
Nilai-nilai sepiritual dan agama memiliki keunggulan dari pada sekedar capaian-capaian materiil. Sesungguhnya hal itu merupakan satu-satunya nilai yang dapat diikuti manusia menuju kemajuan sejati.
b. Agama Sebagai Faktor Pemersatu Bangsa
Contoh langsung bagi negara kita yaitu kemajemukan bangsa Indonesia merupakan kenyataan yang tidak hanya dapat diamati dari segi keanekaragaman, tetapi juga dari segi agama yang dianutnya. Satu hal yang tidak dapat dihindari ialah tata nilai yang dihargai dan dihayati oleh masyarakat Indonesia tidak sama, apalagi satu. Tata nilai itu menyangkut dimensi kehidupan manusia.
Peranan agama sebagai perekat dan sekaligus pemisah umat manusia sangat berpengaruh dalam proses kesatuan bangsa, meskipun sering timbul berbagai asumsi menyangkut signifikansi faktor agama dalam proses diatas. Walaupun demikian, cukup banyak contoh yang bisa dikemukakan perihal kaitan antara agama dan integrasi nasional. Kasus pembentukan negara Pakistan misalnya menjadi contoh klasik. Berdirirnya Pakistan menegaskan berbedaan agama yang tak terjembatani. Pada akhirnya, pemisahan kedua bangsa menjadi India dan Pakistan. Fenomena yang sama juga dialami Irlandia Utara. Perbedaan agama telah menjadi batu sandungan persatuan bangsa Irlandia dengan imperium Britania Raya (Inggris).
Secara eksplisit, kedua kasus tersebut menegaskan peranan agama sebagai faktor pemisah, atau bahkan pemecah bangsa. India dan Inggris terpecah oleh adanya perbedaan agama. Secara implisit, bila dilihat dengan sudut pandang yang berbeda, kasus diatas menunjukkan bahwa agama mampu menjadi faktor perekat kelompok. Para penganut agama Islam di anak Benua India, terkondisikan untuk menegaskan solidaritas kelompoknya ditengah identitas agama Hindu yang dominan.
c. Agama Sebagai Ketentraman Rohani
Agama merupakan sebagai suatu kepercayaan yang dianut oleh manusia yang sangat berpengaruh besar terhadap kehidupan mereka. Tidak hanya dalam kehidupan sosial tetapi dalam kehidupan beragama. Manusia sering merasa tidak nyaman akan kondisi kehidupan yang dijalani, namun dengan berpegangkan oleh agama senantiasa manusia menjadi lebih memiliki tujuan hidup sebenarnya. Kaitannya dengan agama sebagai penentram rohani yaitu ketika seseorang dalam kondisi tidak mampu untuk menghadapi berbagai masalah duniawi, maka seseorang tersebut akan meminta petunjuk bagi masalah-masalah dengan Tuhan mereka dan berserah diri agar diberi segala kemudahan dalam perjalanannya menghadapi kehidupan dan selalu ingat dengan sang Khalik sehingga lebih dekat dengan Tuhan. Dengan kondisi semacam itu, agama merupakan kepercayaan yang mampu membawa manusia dalam kedamaian dan penentram jiwa atau rohani.
Hal tersebut dapat membuktikan bahwa tanpa kepercayaan manusia tidak memiliki pedoman sehingga menyebabkan sikap-sikap yang keluar dari aturan dan sesukanya dalam problematika kehidupan. Namun, tak sedikit juga ada manusia yang tidak memiliki kepercayaan tetapi mampu berbaur dengan baik di kehidupan sosial.
3. Pola-Pola Penting Dalam Agama
a. Aspek-Aspek Agama Primitif
Masyarakat primitif ditandai oleh relatif tidak adanya direferensi sosial dan kebudayaan. Yakni, masyarakat tersebut cenderung tidak memiliki kelompok-kelompok spesialisasi yang jelas dan kolektif-kolektif dengan tugas-tugas, masalah-masalah, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda, dan juga cenderung tidak adanya perangkat keyakinan yang jelas berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan sosial dan alamiyah, maupun gejala fisik. Kalau demikian, sifat primitif hakikatnya terletak pada ciri masyarakat yang tak berdeferensiasi sebagaimana dibahas secara tajam oleh Mary Douglas. Tulisan Douglas merupakan contoh analisa antropologi sosial yang sangat baik mengenai makna dan signifikasi kepercayaan dan simbol-simbol primitif.
b. Agama dalam Perspektif Sejarah
Judaisme, Kristen, dan Islam umumnya diakui sebagai agama yang memiliki dinamika paling besar dalam tradisi-tradisi agama besar. Setiap agama ini memanifestasi perkembangan dan nasib sejarah.Troeltsch dan Gellner menunjukkan masalah-maslah yang dihadapi oleh Kristen dan Islam dalam mencoba mempertahankan atau menigkatkan hegemoni keagamaan. Tulisan Troeltsch secara khusus sangat berhubungan dengan Katolik pada masa pertengahan, sedangkan tulisan Gellner lebih umum membicarakan dinamika Islam dan hubungannya dengan “dunia” dibandingkan dengan Kristen. Kebalikan dari agama primitif kita dapat melihat kasus dari kedua agama ini, Kristen dan Islam, suatu tingkatan perbedaan ideal agama yang sangat besar, dan khususnya dalam kasus Kristen, perangkat pranata yang sangat khusus dimana ide-ide agama dipertahankan dan dihasilkan.
c. Agama dalam Masyarakat Industri Modern
Kebalikan dari zaman kuno masyarakat Kristen, masyarakat modern dimana Kristen bersifat prevalen cenderung ditandai oleh kombinasi pluralisme agama dan hilangnya kontrol agama. Dalam beberapa masyarakat, seperti Itali dan Spanyol, suatu gereja yakni Roma Katolik, harus mempertahankan monopoli atau hampir memonopoli seleruh pengawasan agama. Namun sebagian besar yang lain adalah pluralistik yakni, mereka memiliki sejumlah orientasi keagamaan.
Konfigurasi makna yang menunjukkan kenyataan simbolik agama gereja tradisional nampaknya tidak berkaitan dengan kebudayaan masyarakat industri modern. Tentu saja, internalisasi kenyataan simbolik agama tradisional, dalam batasan-batasan tertentu, tidak akan diterima oleh struktur masyarakat kotemporer. Fakta ini ikut menjelaskan mengapa agama gereja tradisional bergerak ketepi kehidupan kontemporer. Penemu-penemu ini tidak sesuai dengan kenyataan bahwa tantangan-tantangan ideologi anti gereja memainkan peranan penting. Jika gereja-gereja tersebut tetap hidup terutama karena asosiasinya dengan kelompok-kelompok sosial dan lapisan-lapisan sosial yang terus berorientasi kepada nilai-nilai keteraturan sosial di masa lampau. Dalam kenyataan, transformasi yang kurang radikal dari lokasi sosial maupun alam makna dari agama gereja dapat terjadi bersamaan.
BAB V
SOSIOLOGI AGAMA TENTANG AGAMA DAN BUDAYA
Pengertian agama dan budaya
A. Pengertian Agama
Agama berasal dari bahasa sansekerta dari kata “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau. kedua kata itu jika di hubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan tuhan, sesama manusia, dan alam sekitarnya tidak kacau.agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi cara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus menanggapinya. Dalam kaitannya ini ada juga yang mengartikan religi dalam arti melihat kembali kebelakang pada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan – perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman hidup.
B. pengertian Budaya
Budaya adalah keseluruhan gagasan, tindakan, dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
Agama itu akan mengalami proses penyesuaian dengan kebudayaan yang telah ada.mengenai kompromi nilai dan symbol antar agama yang bercampur dengan kebudayaan asal. yang menghasilkan bentuk baru yang berdeda dengan budaya asal. Budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif memeluk suatu agama, tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu meliputi factor geografis, budaya, dan beberapa kondisi yang objektif.
Agama dalam konteks budaya berada dalam konteks dialektika ini. Ada seseorang manusia yang melakukan pemaknaan baru dalam sistem nilai suatu masyarakat, lalu mengemukakannya dengan meminjam symbol-simbol budaya yang tersedia. Dalam konteks ini terjadi ketika pemaknaan yang dilakukan telah menghasilkan struktur nilai yang tidak terjebak pada hal-hal imanensi. pada saat itu dibutuhkan pemaknaan yang sanggup mengeluarkan manusia dari rasa cemas akan kehidupan. Suatu pemaknaan transenden yang kemudiaan disebut agama. Nilai- nilai itu menjadi lumbung harapan bagi terciptanya harmoni. Untuk mengenal dan menyembah ilahi yang dipercayai dapat memberi keselamatan serta kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada manusia. Upaya tersebut dilakukan dengan berbagai ritual secara pribadi dan bersama yang ditujukan kepada kekuatan besar yang mereka percayai sebagai tuhan. Budaya dapat merupakan ekspresi hidup keagamaan.
Bentuk-bentuk agama dan kebudayaan
A. bentuk agama
agama ada yang bersifat primitive dan ada pula yang dianut oleh masyarakat yang telah meninggalkan fase keprimitifan. Agama- agama yang terdapat dalam masyarakat primitive ialah dinamisme,animism, monoteisme poloteisme, adapun pengertiannya adalah sebagai berikut,
a. agama dinamisme
adalah agama yang menggantung kepercayaan pada kekuatan ghoib yang misterius. Dalam paham ini ada benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan ghaib dan berpengaruh pada kehidupan manusia sehari-hari.klekuatan ghaib itu ada yang bersifat baik ada pula yang bersifat jelek. Dan dalam bahasa ilmiah kekuatan ghaib itu disebut ‘mana’ dan dalam bahasa Indonesia disebut ‘tuah’ atau sakti, paham ini hingga sekarang masih tetap ada misalnya bangsa jepang yang menyembah matahari yang mereka yakini memiliki kekuatan luar biasa yang dapat menyinari seluruh alam semesta dan memberi kehidupan bagi penghuninya.
b. agama animisme
Merupakan agama yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda, baik yang bernyawa maupun tidak itu mempunyai roh.bagi masyarakat primitive roh masih tersusun dari materi yang halus sekali dan dekat menyerupai uap atau udara. Roh dari benda-benda tertentu adakalanya memmpunyai pengaruh yang dahsyat terhadap kehidupan manusia misalnya hutan yang lebat, pohon yang besar, gua yang gelap dll.
Selain itu, kepercayaan animism juga mengimani bahwa roh orang-orang terdahulu bias merasuki raga berbagai jenis hewan yang ada di sekitar komunitas tersebut bermukim dan hewan tersebut dapat berlaku seperti manusia. Contohnya masyarakat suku Nias, mempercayai bahwa roh seseorang yang meninggal karena di bunuh dapat merasuki harimau dan membalaskan dendam kepada seseorang yang telah membunuhnya. Akan tetapi konsep ini sama sekali tidak bias disamakan dengan konsep reinkarnasi yang dimiliki masyarakat hindu dan budha.
c. agama monoteisme
Ialah adanya pengakuan yang hakiki bahwa tuhan satu, tuhan maha esa,pencipta alam semesta dan seluruh isi kehidupan ini baik yang bergerak maupun tidak bergerak
d. agama politeisme
Ialah yang menampung kepercayaan pada dewa-dewa. Dewa-dewa dalam poloteisme telah mempunyai tugas-tugas tertentu. Tujuan beragama dalam poloteisme bukan hanya memberi sesajen atau persembahan pada dewa-dewa itu, tetapi juga menyembah dan berdoa kepada mereka untuk menjauhkan amarahnya dari masalah yang bersangkutan.
B. bentuk kebudayaan
1. Kebudayaan Islam
Islam berkembang sejak diutusnya seorang Rasul yang bernama Nabi Muhammad SAW, dimana Ajaran– ajaran Islam sendiri masih sangat kental dan suci, namun sejalan dengan perkembangandunia dan perubahan zaman, Ajaran– ajaran Islam pun kian marak dijadikan sebuah Budaya,yang akhirnya masyarakat sendiri sulit membandingkan antara Agama dengan Budaya.
Contohnya : Masalah busana muslim “Jilbab”, di zaman dahulu busana muslim atau jilbab adalah pakaian yang menutup aurat, pakaian longgar dan panjang, seperti yang difirman Allah SWT dalam Al– Qur‟an surah An – Nur : 31 (“ Katakanlah kepada wanita yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah merekamenampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak dari padanya. Dan hendaklah merekamenutup kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau putra – putra mereka atau putra – putra suami mereka ………….” ) Sedangkan zaman sekarang jilbab menjadi sebuah model atau gaya yang mana tidak lagi melihat pada tuntunan Islam.
2. Kebudayaan Romawi Timur
Kerajaan Romawi didirikan pada tahun 753. Budaya Romawi pada umumnya beragama Nasrani. Dalam Kebudayaannya dikenal 3 muhzab yang termasyur yaitu :1. Mazhab Yaaqibah, yang bertebaran di Mesir, Habsyah Mazhab ini berkeyakinan bahwa Isa Almasih adalah Allah.2. Mazhab Nasathirah yang betebaran di Mesir, Irak, Persia3. Mazhab Mulkaniyah, Kedua Mazhab ini berkeyakinan bahwa dalam diri Al – Masihterdapat 2 tabiat yaitu :1) Tabiat ketuhanan.2) Tabiat kemanusiaan.
3. Kebudayaan Persia
Dalam sejarah kebudayaan Persia, masyarakatnya banyak yang menyembah berbagaialam nyata, seperti langit, cahaya, udara, air dan api. Api dilambangkan sebagai Tuhan baik,sehingga mereka menyembah api yang selalu dinyalakan didalam rumah– rumah.
4. Kebudayaan Arab Jahilliyah
Disebut Arab Jahilliyah karena sebelum Islam datang mereka adalah pembangkangkepada kebenaran. Budaya orang– orang Arab Jahilliyah adalah menyembah berhala karenaitulah mereka terus menentang kebenaran meski di ketahui dan didasari kebenarannya olehmereka.
Agama dan kebudayaan Indonesia
Seperti yang kita ketahui budaya Indonesia terdiri dari lima lapisan. Lapisan itu diawali budaya agama pribumi. Lapisan utama adalah agama pribumi yang memiliki ritual-ritual yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau lebih,Lapisan kedua adalah hinduisme yang telah meninggalkan peradaban yang menekankan pembebasan rohani. Lapisan ketiga adalah agama budha yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan keserakahan.Lapisan keempat adalah agama islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syariah, ketaatan melakukan sholat, kepekaan terhbadap mana yang baik dan mana yang jahat.Lapisan kelima adalah agama Kristen menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia.melebihi arti kasih dalam kebudayaan.
Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras.
Disamping pengembangan budaya immaterial tersebut agama-agama juga telah berhasil mengembangkan budaya material seperti candi-candi dan bihara-bihara di Jawa tengah, sebagai peninggalan budaya Hindu dan Buddha. Budaya Kristen telah mempelopori pendidikan, seni bernyanyi, sedang budaya Islam antara lain telah mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di Gelagah Wangi Jawa Tengah. Masjid ini beratap tiga susun yang khas Indonesia, berbeda dengan masjid Arab umumnya yang beratap landai. Atap tiga susun itu menyimbolkan Iman, Islam dan Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has Indonesia yang mengutamakan keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus di Banten bermenaar dalam bentuk perpaduan antara Islam dan Hindu. Masjid Rao-rao di Batu Sangkar merupakan perpaduan berbagai corak kesenian dengan hiasan-hiasan mendekati gaya India sedang atapnya dibuat dengan motif rumah Minangkabau (Philipus Tule 1994:159).Kenyataan adanya membuktikan bahwa agama-agama di Indonesia telah membuat manusia makin berbudaya sedang budaya adalah usaha manusia untuk menjadi manusia.dalam perkembangannya islam tudak dapat di pisahkan dengan budaya,bahkan islam merangkul budaya untuk menyampaikan ajarannya.misalnya sekten yang dilaksanakan selama tujuh hari konon asal usul upacara ini dimulai dari kerajaan demak.
hubungan agama dengan kebudayaan
Para antropolog dan sejarawan menganggap bahwa agama itu merupakan bagian dari kebudayaan. Karena memandang kebudayaan sebagai titik sentral kehidupan manusia, dan mereka tidak membedakan antara agama / kepercayaan yang lahir dari keyakinan masyarakat tertentu, dengan adanya agama yang berasal dari wahyu tuhan kepada Rosul-nya. Sedangkan para agamawan, umumnya memandang agama sebagai sumber dari titik sentral kehidupan manusia, terutama yang ada kaitannya dengan system keyakinan dan system peribadatan. Agama mempunyai pokok-pokok ajaran yang mengikat pemeluknya, diantara ajaran - ajaran tersebut ada yang bersifat dogmatis (inti keyakinan), yang tidak mungkin ditukar dengan tradisi dan system kebudayaan yang berlawanan. Meskipun demikian, dalam agama terdapat ruang yang memungkinkan adanya penyesuaian atau penyerapan antara agama dengan tradisi dan budaya yang sangat berlaku di suatu masyarakat. Disana terjadi proses saling mengisi, saling mewarnai dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Hubungan antara agama dan kebudayaan memang tidak selalu harmonis. Sedikitnya ada empat kategori hubungan antara agama dengan kebudayaan, dengan meminjam suatu resep pengamatan dari Prof. G. Van Der Leeuw sebagai berikut :
a. Agama dan kebudayaan yang saling menyatu.
b. Agama dan kebudayaan yang renggang.
c. Agama dan kebudayaan yang terpisah.
d. Agama dan kebudayaan yanng saling mengisi.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa hubungan antara agama dan kebudayaan tidak bersifat statis, tetapi berkembang secara dinamis dalam perjalanan sejarah. Walaupun pengamatan dari Prof. G. Van Der Leeuw tadi mencerminkan pengalaman dari masyarakat Barat yang modern, namun pengamatan itu dapat kita ambil sebagai manfaat juga dalam mempelajari suatu perkembangan di negara kita.
Fungsi agama terhadap budaya
a. sebagai alat pengatur sekaligus membudayakannya
b. sebagai generatur social maupun kohesi sosial
c. agama sebagai tantangan social dan keteraturan sosial
agama dan budaya dalam islam
a. Islam mencakup agama dan budaya
kebudayaan atau peradaban terbentuk dari akal budi yang berada dalam jiwa manusia, karena itu kebudayaan selalu ditentukan oleh nilai-nilai kehidupan yang diyakini dan dirasakan oleh pembentuk kebudayaan tersebut yaitu manusia. Kebudayaan atau peradaban yang berdasar ada nilai-nilai ajaran islam disebut kebudayaan islam. Dalam pandangan ajaran islam aktivitas kebudayaan manusia harus memperoleh bimbingan agama yang dilakukan oleh allah swt. Melalui para nabi dan rasul-Nya.
Manusia pada dasarnya tidak mungkin dapat mengetahui seluruh kebenaran, bahkan tidak memiliki kemampuan untuk menemukan semua kebaikan dan keburukan. Hal ini bias dibuktikan dengan perbedaan tata nilai yang beraneka ragam dalam kehidupan bangsa-bangsa didunia. Suatu hal yang dianggap baik dan terpuji oleh bangsa dalam Negara tertentu, sebaliknya hal itu dianggap sesuatu yang buruk dan tercela disuatu bangsa dan Negara lain.
Akal dan pikiran manusia tidak mampu menemukan semua kebaikan atau keburukan, karena itu banyak hal yang dianggap baik oleh akal pikiran ternyata buruk menurut agama. Banyak hal yang dianggap buruk oleh akal pikiran manusia justru dianggap sesuatu yang terpuji menurut agama.
Dengan demikian, agar kebudayaan terlepas dari jalan yang sesat dan sebaiknya mengikuti jalan yang benar dan terpuji, maka harus dilandasi oleh ajaran agama.
b. nilai-nilai dasar dalam islam tentang kebudayaan
umat islam sejak sejarah perkembangannya paling awal sampai pada masa kini telah banyalk menyumbangkan karya-karya besar bagi kehidupan dunia yang merupakan bagian dari kebudayaan dan peradaban mereka. Dalam kebudayaan intelektual umat islam banyak melahirkan tokoh-tokoh besar dibidang ilmu pengetahuan agama, seperti lahrinya tokoh-tokoh aliran dalam ilmu kalam dan karya-karya mereka, tokoh-tokoh dibidang syariah dan fikih dikenal dengan imam-imam madzab hanafi, maliki, hambali, dan syafi’I, dalam bidang filsafat juga melahirkan para tokoh dari filsuf muslim, seperti alkindi, alfarabi, alrazi, ibnu rusyid dan sebagainya.
Dalam bidang tasawuf melahirkan tokoh-tokoh besar seperti haris al muhasibi, ibnu arabi, dzunun al misri, rul sai’ah al adhawiyah, al ghazali dan beberapa tokoh lain
Selain melahirkan tokoh-tokoh besar dalam berbagai bidang di tersebut di atas, dalam pengembangan sains dan teknologi juga melahirkan beberapa tokoh, antara lain Muhammad al-khawarizmi, ahli matematika, abu yusuf ya’qub di bidang fisika, ibnu sina di bidang kedokteran dan berbagai tokoh lain yang jumlahnya sangat banyak.
Kebudayaan islam yang melahirkan banyak ahli yang disebutkan di atas diilhami dari ayat-ayat al-quran dan sunnah rasul karena itu keduanya merupakan sumber ilmu pengetahuan. Nilai kebudayaan islam yang harus terus di kembangkan dan di terapkan dalam kehidupan bermasyarakat, antara lain: bersikap ikhlas, berorientasi ibadah, dan semata-mata untuk kemaslahatan umat islam.
BAB VI
HUBUNGAN AGAMA DENGAN EKONOMI
1. Pengertian Ekonomi
a) Pengertian Ekonomi Secara Etimologi
Ekonomi adalah pengetahuan tentang peristiwa dan persoalan yang berkaitan dengan upaya manusia secara perorangan atau kelompok, keluarga, suku, bangsa, organisasi, Negara dalam memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas yang di hadapkan pada sumber daya pemuas yang terbatas. Secara etimologi istilah ekonomi dari bahasa Yunani “oikonomia” yang terdiri dari kata ”oikos” berarti rumah tangga dan “nomos” berarti aturan. Kata “oikonomia” mengandung arti aturan yang berlaku untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam suatu rumah tangga. Dalam bahasa Arab ekonomi sepadan dengan kata “Istishad” yang artinya umat yang pertengahan, atau bisa diartikan menggunakan rezeki atau sumber daya yang ada disekitar kita. Pengetahuan ekonomi merupakan usaha untuk mendapatkan dan mengatur harta baik material maupun nonmaterial untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia baik secara individu maupun kolektif yang menyangkut perolehan, pendistribusianmaupun penggunaannya.
Dalam tinjauan pengertian secara bahasa (etimologi), istilah “ekonomi” berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikosnamos atau oikonamia yang berarti “manajemen urusan rumah tangga”, khusunya penyediaan dan administrasi pendapatan. Namun, sejak perolehan maupun penggunaan kekayaan sumber daya ecara fundamental perlu diadakan efisiensi, termasuk pekerja dan produksinya maka dalam bahasa modern, istilah ekonomi tersebut menunjuk kepada perinsip usaha maupun metode untuk mencapai tijuan dengan alat-alat sesedikit mungkin.
b) Pengertian Ekonomi Secara Terminologi
Adapun dari sisi pengertian secara istilah (terminologi), ilmu ekonomi akan dijelaskan sebagai berikut: pertama, menurut Albert L. Meyers, ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempersoalkan kebutuhan dan pemuasan kebutuhan manusia. Kata kunci dari definisi ini adalah kebutuhan dan pemuasan kebutuhan. Kebutuhan adalah suatu keperluan manusia terhadap barang dan jasa yang sifat dan jenisnya sangat bermacam-macam dalam jumlah yang tidak terbatas. Aspek yang kedua ini menimbulkan masalah ekonomi, yaitu adanya suatu kenyataan yang senjang, karena kebutuhan manusia terhadap barang dan jasa jumlahnya tidak terbatas, sedangkan dilain pihak barang dan jasa sebagai alat pemuas kebutuhan, sifatnya langka/terbatas sehingga masalah yang timbul adalah kekecewaan / ketidak pastian. Kedua, menurut J.L.Meij mengemukakan bahwa ilmu ekonomi ialah ilmu tentang usaha manusia mencapai kemakmuran, karena manusia itu makhluk ekonomi(homo economicus). Ketiga, Samuel Son dan Nor Dhaus berpendapat bahwa ilmu ekonomi merupakan setudi tentang perilaku orang dan masyarakat dalam memilih cara menggunakan sumberdaya yang langka dan memiliki beberapa penggunaan alternatif penggunaaan dalam rangka memproduksi berbagai komoditi kemudian menyalurkanya baik saat ini maupun dimasa depan kepada indifidu dan kelompok yang ada dalam masyarakat. Pada hakikat ilmu ekonomi berkaitan dengan perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam maencapai kemakmuran dengan proses operasional, produksi dan distribusi komoditi dalam masyarakat.
2. Unsur Unsur Agama dan Ekonomi
a. Unsur-Unsur Agama
a) Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi.
b) Simbol agama, yakni identitas agama yang di anut umatnya.
c) Praktik keagamaan, yakni hubungan vertical antara manuia dengan Tuhan, dan hubungan horizontal atau hubungan antar umat beragama sesuai dengan ajaran agama.
d) Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
e) Umat beragama, yakni penganut maing-masing agama.
b. Unsur Unsur Ekonomi
Sistem-Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi adalah perangkat atau alat-alat yang digunakan untuk menjawab secara tuntas masalah apa, bagaimana, dan untuk siapa barang diproduksi. Efektif atau tidaknya jawaban yang diberikan sangat tergantung kepada sistem ekonomi yang dipilih. Secara umum, terdapat empat sistem ekonomi yaitu :
1) Sistem ekonomi tradisional, sistem ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
(a) Tidak adanya pemisah yang tegas antara rumah tangga produksi dan rumah tangga konsumsi sehingga bisa dianggap masih dalam satu kesatuan.
(b) Teknologi yang digunakan masih sangat sederhana.
(c) Tidak terdapat pembagian kerja, jika pun ada masih sangat sederhana.
(d) Tidak ada hubungan dengan dunia luar sehingga masyarakatnya sangat statis.
2) Sistem ekonomi komando atau terpusat, sistem ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a) Kegiatan ekonomi (produksi, konsumsi, dan distribusi) diatur oleh pemerintah.
b) Kebebasan individu dalam berusaha tidak ada.
c) Kebebasan individu dalam memiliki kekayaan pribadi tidak ada.
d) Kepemilikan alat produksi sepenuhnya pada pemerintah.
e) Kegiatan ekonomi tidak melibatkan masyarakat atau swasta.
3) Sistem ekonomi pasar, sistem ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a) Kegiatan ekonomi sepenuhnya diserahkan dan dilaksanakan oleh swasta atau masyarakat.
b) Kebebasan masyarakat untuk memiliki alat-alat produksi dan berusaha diakui.
c) Hak milik perorangan diakui.
d) Keikut sertaan pemerintah dalam bidang ekonomi dilakukan tidak secara langsung dan hanya terbatas pada pembuatan peraturan dan kebijakan ekonomi.
e) kebebasan masyarakat untuk berenovasi dan berimprovisasi diakui dan dihormati.
f) Kegiatan yang dilaksanakan bersifat profit oriented.
4) Sistem ekonomi campuran, dalam sistem perekonomian haruslah kita sadari bahwa pada saat ini tidak ada satupun negara yang secara tegas menganut satu diantara tiga sistem ekonomi tersebut. China yang berpaham komunis dan sangat besar kemungkinannya menerapkan sistem ekonomi komando, maupun Amerika Serikat yang menjadi kiblat dari ekonomi pasar, tidak secara tegas menyatakan bahwa sistem ekonomi yang mereka pakai adalah sistem ekonomi komando atau sistem ekonomi pasar. Kecenderungan saat ini adalah adanya sistem ekonomi campuran (mixed ekonomy), yaitu mengambil sebagian unsur-unsur pasar yang tradisional, dan komando. Hal ini disadari kesadaran saling ketergantungan antara negara dan adanya pengaruh ekonomi global.
Dalam sistem ekonomi campuran, mekanisme harga dan pasar bebas yang dianut oleh sistem ekonomi bebas dapat berdampingan dengan adanya perencanaan dari pusat seperti yang dianut oleh sistem ekonomi komando. Satu hal yang harus dipahami, bahwa pada sistem ekonomi campuran terdapat peranan pemerintah untuk mengendalikan pasar yang bertujuan agarbekonomi tak lepas sama sekali dan menguntungkan para pemilik modal yang besar sehingga membentuk monopoli.
kajian ekonomi pada abad ini (the age of reason) tidak hanya bertolak dari asas kapitalsme dan asas marxisme, melainkan bertolak juga pada pemikiran ilmu ekonomi yang lebih terandalkan dalam menjaga keselamatan seluruh manusia dan alam semesta. Ekonomi yang memiliki nilai-nilai kebenaran (logis), kebaikan (etis), dan keindahan (estetis). Ekonomi yang dapat membebaskan manusiaq dari aksi penindasan, penekanan, kemiskinan, dan segala bentuk keterbelakangan, serta dapat meluruskan aksi ekonomi dari karakter yang tidak manusiawi, yaitu ketidak adilan, kerakusan, dan ketimpangan. Ekonomi yang secara historis-empiris telah terbuktikan keunggulannya di bumi ini tidak bebas atau tidak dapat membebaskan diri dari pengadilan nilai, yaitu nilai yang bersumber dari agama (volue committed), dialah ekonomi syariah.
Islam adalah agama wahyu yang merupakan sumber dan pedoman tingkah laku bagi manusia yang dirisalahkan sejak manusia pertama, yaitu Nabi Adam a.s dan disempurnakan melalui nabi-nabi Allah sampai kepada nabi terakhir yaitu nabi Muhammad saw. Tingkah laku ekonomi merupakan bagian dari tingkah laku manusia.
Dalam tarikh Islam, Nabi Syu’aib a.s disebut sebagai Nabi Ilmu Ekonomi yang mendasarkan ekonomi kepada iman (tauhid) terhadap adanya Allah SWT dan hari pengadilan sebagaimana firman Allah yang artinya :
“ telah kami utus kenegri Madyan seorang saudaranya, Syu’aib, ia berkata,” hai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagimu Tuhan selain dari pada-Nya, dan janganlah kamu mengurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam kebaikan dan aku takut terhadap kamuakan siksaan hari yang meliputi kamu. Hai kaumku, sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan keadilan dan janganlah kamu kurangkan hak orang sedeikit juga dan jangan pula berbuat bencana dimuka bumi sebagai perusak. Rezeki Allah yang tinggal (selain dari yang haram) lebih baik bagimu, jika kamun orang yang beriman, dan aku bukanlah orang yang memeliharamu. Mereka berkata, “ hai Syu’aib, apakah sembahyangmu menyuruh supaya kamu meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami, atau supaya kami jangan berbuat pada harta-harta kami apa yang kami sukai? Sesungguhnya engkau penyantun lagi cerdik.” (Hud : 84-87).
Kajian tingkah laku ekonomi manusia merupakan ibadah kepada Allah. Kekayaan ekonomi adalah suatu alat untuk memenuhi hajat dan kepuasan hidup dalam rangka meningkatkan kemampuannya agar dapat mengabdi lebih baik kepada Allah. Mencari dan menimba kekayaan atau pendapatan yang lebih baik untuk dinikmatinya tidaklah dikutuk Allah sepanjang diakui sebagai karunia dan amanat Allah. Adapun yang terkutuk adalah apabila kekayaan itu dijadikan sesembahan yang utama dalam hidupnya. Iman dan takwa kepada Allah memberi corak pada dunia ekonomi dewngan segala aspeknya. Corak ini menampilkan arah dan model pembangunan yang menyatukan pembangunan ekonomi dengan pembangunan agama sebagai sumber nilai (central/core value). Dengan demikian, kegiatan-kegiatan ekonomi seperti produksi, distribusi, dan konsumsi harus menggunakan pertimbangan nilai agama dan bukan oleh determinisme mekanistis ekonomi lainnya seperti pada kapitalisme dan marxisme.
Islam sejak risalah Nabi Muhammad SAW sampai kepada suatu zaman yang disebut the golden age of islam, lalu ke zaman pembekuan dan kegelapan (the dark age) merupakan pengalaman empiris dan sebagai batu ujian bagi pemikir muslim era globalisasi untuk membangkitkan kembali Islam yang akan mewarnai abad ekonomi modern dewasa ini, baik ditingkat nasional, regional maupun global. Pertemuan para ahli ekonomi muslim sedunia dalam International Conference for Islamic Aconomics yang pertama di Makkah tahun 1976telah mendorong gairah untuk menggali nilai Islam bagi ekonomi bangsa sedunia di tengah-tengah krisis kehidupan akibat sistem ekonomi kapitalis-individualistis dan marxis-sosialistis. Konsep ekonomi Islam mampu mengentas kehidupan manusia dari ancaman pertarungan, perpecahan akibat persaingan, kegelisahan dan kesirnaan akibat kerakusan, dan ancaman-ancaman keselamatan, keamanan serta ketentraman hidup manusia, kepada kehidupan yang damai dan sejahtera.
3. Kajian hubungan Sosiologi Agama dengan Ekonomi
Kajian sosial tentang agama dan perkembangan ekonomi menggunakan dua pendekatan :
Pertama, kepercayaan sekte atau golongan agama dan pada karakteristik moral, serta motivasi yang ditimbulkannya. Kedua, perubahan-perubahan sosial dan ekonomi yang mempengaruhi suatu kelompok dan gerakan keagamaan yang muncul sebagai reaksi terhadap perubahan. Walaupun demikian, kedua pendapat tersebut saling menyempurnakan antara satu sisi dengan sisi lainnya.
Salah satu teori yang paling berpengaruh tentang hubungan timbal balik antara agama dan ekonomi dinyatakan oleh Webber dalam bukunya The protestans Ethic and The Spirit of Capitalism (1904). Webber menyatakan bahwa para pemimpin Reformasi Protestan tidak bermaksud menegakkan pondasi semangat untuk suatu masyarakat kapitalis dan seringkali mengecam kecenderungan kapitalistis dijaman mereka. Etika protestan menanamkan keutamaan-keutamaan individualisme, hidup sederhana, hemat, dan pemuliaanpekerja yang religius- praktek-praktek yang jelas membantu akumulasi kekayaan.
Adanya hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi, sampai sekarang masih merangsang perdepatan dan penelitian empiris. Tensisnya dpertentangkan dengan teori Karl Max tentang kapitalisme, dasar asusmsi dipersoalkan dan ketetapan interpretasi sejarah digugat. Samuellson, ahli sejarah ekonomi Swedia, tanpa segan-segan menolak dengan keras seluruh tensis Webber. Dalam teorinya tak ada dukungan dari teori tersebut.
Didalam pembahasan lain, masyarakat tradisional, agama berfungsi untuk mendorong manusia untuk terlibat dalam peran-peran dan tingkah laku ekonomi, karena agama dapat mengurangi rasa cemas dan takut. Studi yang dilakukan oleh Malinowski dikalangan masyarakat Trobiand, ditemukan bahwa masyarakat tersebut selalu mengadakan upacara ritual sebelum melakukan kegiatan mencari ikan dilaut.
Sedangkan di dalam masyarakat modern, peran agama terhadap kegiatan ekonomi relatif berkurang. Ekonomi umumnya menekankan pentingnya rasionalitas dan sekularisme,bsering kali menyebabkan harus berbenturan kepentingan dengan agama yang menekankan kepercayaan kepada hal-hal yang supranatural. Dengan demikian, eksistensi agama relatif terpisah dari ekonomi.
Di Indonesia, kenyataan menunjukkan bahwa pengembangan ekonomi Islam dimulai melalui pola kedua sehingga tidak heran jika pengembangan industri keuangan syariah tumbuh lebih cepat dibandingkan pengkajian teoritis dan konseptual dalam pembentukan sistem yang lebih komprehensif. Maka, wajar jika ada keterbatasan sumber daya insani yang memilih pemahaman secara baik aspek ekonomi dan syari’at. Hal ini menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam rangka pengembangan ekonomi Islam.
Keterangan-keterangan ilmiah yang dihasilkan sosiologi agama tidak akan menyelesaikan segala kesulitan secara tuntas. Segi kesulitan yang bukan sosiologis harus dimintakan resep dari ilmu yang bersangkutan. Misalnya teknologi, ekonomi, demigrafi dlsb.
Jika yang dimaksud moralitas kehidupan itu merupakan wilayah ekonomi, maka moral ekonomi inilah yang perlu kita pikirkan secara kritis agar bisa menghasilkan moralitas yang bermakna bagi kehidupan Perilaku masyarakat Japang, tanpa terkecuali dalam hubungannya dengan bisnis terbaca dari pemikirannya:
a) Orang-orang Japang percaya bahwa keselarasan dipermukaan dipertahankan dengan segala upaya.
b) Didalam situasi konflik, orang-orang Japang berusaha untuk menghindari malu, bagi mereka sendiri dan seringkali juga bagi lawannya.
c) Orang-orang Japang enggan menghadapi orang lain dalam konflik terbuka.
d) Rasa memiliki kewajiban merupakan pendorong yang kuat bagi tingkah laku orang-orang Japang.
e) Kesamaan latar belakang dan kebiasaan yang saling dijaga memungkinkan mereka saling memahami, hanya dengan melalui sedikit ataupun tanpa isyarat sekalipun.
Tidak diragukan lagi bahwa legalitas bisnis dibahas dalam Al-qur’an diharapkan akan membantu kita dalam menggambarkan prinsip-prinsip dasar dari etika bisnis Al-qur’an. Ketaatan pada prinsip-prinsip ini akan memberikan jaminan keadilan dan keseimbangan yang dibutuhkan dalam bisnis dan akan menjaga aktivitas komersial pada koridor yang benar.
BAB VII
AGAMA DAN POLITIK
Pengertian Agama dan Politik
1. Pengertian Agama
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious). Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk dalam suprastruktur: agama terdiri dari tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka (Sanderson, Stephen K., 2011: 517).
Dalam kehidupan, agama merupakan identitas individu sehingga dapat membedakannya dari orang lain. Ada banyak sekali pendapat-pendapat mengenai makna agama. R. H. Thouless mengambil 3 definisi dimana masing-masing definisi itu merupakan suatu segi dari segi-segi agama pribadi, definisi tersebut adalah,
a. Definisi Frazer
Agama adalah mencari keredaan atau kekuatan yang tinggi dari pada manusia, yaitu kekuasaan yang disangka oleh manusia dapat mengendalikan, menahan/menekan kelancaran alam dan kehidupan manusia.
b. Definisi James Martineau
Agama adalah kepercayaan kepada yang hidup abadi, dimana diakui bahwa dengan pikiran dan kemauan Tuhan, alam ini diatur dan kelakuan manusia diperkuat.
c. Definisi Mattegart
Agama adalah suatu keadaan jiwa, atau lebih tepat keadaan emosi yang didasarkan kepercayaan keserasian diri kita dengan alam semesta.
Thouless memandang, bahwa ketiga definisi tersebut adalah dalam pandangan ilmu jiwa umum, karena perasaan itu dapat dibagi atas 3 segi yakni tanggapan, emosi, dan dorongan. Ketiga macam itu dipilih oleh Thouless, karena menurut pendapatnya bahwa ketiga-tiganya merupakan tiga segi dari agama, yaitu:
a. Yang pertama melukiskan cara/kelakuan.
b. Yang kedua adalah keyakinan/pendapat akal.
c. Yang ketiga adalah alat-alat, perasaan dan emosi.
Maka dari setiap definisi tentang agama, harus mengandung unsur-unsur tersebut dan definisi yang dipandangnya lebih cocok ialah sebagai berikut: “Agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu itu lebih tinggi dari pada manusia”(Zakiyah Daratjat, 1973: 34).
Sedangkan menurut pandangan sosiolog, Emile Durkheim mengemukakan makna agama, bahwa adanya perbedaan yang –sakral dan yang –profan serta terangkatnya beberapa aspek kehidupan sosial ke level yang –sakral memang merupakan syarat mutlak bagi keberadaan agama. Yang –sakral tercipta melalui ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol religius yang mengikat individu dalam suatu kelompok. Syarat-syarat lain dari agama adalah kepercayaan, ritual agama dan gereja (tempat ibadah). Sedangkan definisi agama menurutnya adalah: “kesatuan sistem kepercayaan dan praktik yang menyatu dalam sebuah komunitas moral tunggal yang dinamai Gereja, semua melekat padanya” (Ritzer, 2011: 105).
Definisi agama menurut sosiologi adalah definisi empiris. Agama dipandang sebagai suatu institusi yang lain yang mengemban tugas atau fungsi agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup local, regional, nasional, maupun mondia maka dalam tinjauannya, yang dipentingkan ialah daya guna, dan pengaruh agama terhadap masyarakat, sehingga berkat eksistensi dan fungsi agama cita-cita masyarakat (akan keadilan dan kedamaian, dan akan kesejahteraan jasmani dan rohani).
Dilihat dari sudut kategori pemahaman manusia, agama memiliki dua segi yang membedakan dalam perwujudannya, yaitu:
a. Segi kejiwaan (psychological state), yaitu suatu kondisi subjek atau kondisi dalam jiwa manusia, berkenaan dengan apa yang dirasakan oleh penganut agama. Kondisi inilah yang disebut dengan kondisi agama, yaitu kondisi patuh dan taat kepada yang disembah. Kondisi itu hampir sama dengan konsep religious emotion dari Emile Durhkeim. Emosi keagamaan seperti itu merupakan gejala individual yang dimiliki oleh setiap penganut agama yang membuat dirinya merasa sebagai “mahluk Tuhan”.
b. Segi objektif (objective state), segi luar yang disebut juga kejadian objektif, dimensi empiris dari agama. Keadaan ini muncul ketika agama dinyatakan oleh penganutnya dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis, ritual, maupun persekutuan. Segi objektif ini lah yang bisa dipelajari apa adanya, dan dengan demikian bisa dipelajari dengan metode ilmu sosial. Segi kedua ini mencakup adat istiadat, upacara keagamaan, bangunan, tempat-tempat peribadatan, cerita yang dikisahkan, kepercayaan, dan prinsip-prinsip yang dianut oleh suatu masyarakat.
Meskipun agama berkaitan dengan berbagai keharusan, ketundukan, dan kepatuhan tetapi tidak setiap ketaatan itu bisa disebut dengan agama; bergantung pada siapa ketaatan itu diperuntukkan dan atas dasar motivasi apa ketaatan itu dilaksanakan. Berdasarkan hasil studi para ahli sosiologi dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu maupun kelompok.
2. Pengertian Politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
a. politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
b. politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
c. politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
d. politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Pada umumnya apa yang disebutkan diatas berkaitan dengan bermacam-macam kegiatan dalam suatu negara, yang menyangkut proses penentuan dan pelaksanaan tujuan-tujuan. Untuk melaksanakan tujuan, perlu ditentukan kebijaksanaan umum yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi sumber-sumber dan berbagai sumber daya yang ada. Untuk itu diperlukan kekuatan dan kewenangan. Politik selalu menyangkut tujuan publik, tujuan masyarakat sebagai keseluruhan dan bukan tujuan pribadi seseorang.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik,legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik. Politik itu menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk kegiatan partai politik dan kegiatan individu demi kepentingan bersama.
B. Hubungan Agama dan Politik
Dalam konsepsi sebagian besar masyarakat Indonesia, kehidupan politik juga seharusnya dilandasi oleh nilai-nilai agama. Konsepsi ini agak berbeda dengan politik di negara Barat yang memisahkan secara tegas antara politik dan agama. Politik dan posisi-posisi politik harus dipisahkan secara tegas dengan agama. Konsepsi ini menghendaki agar pemimpin agama tidak terlibat dalam politik praktis.
Mengkaji masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari faktor negara atau politik. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam merupakan faktor berpengaruh terhadap politik. Ada dua alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, karena secara kuantitas umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas. Kedua, karena adanya pemikiran dalam umat Islam sendiri bahwa memang Islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Deliar Noer termasuk orang yang berpandangan bahwa Islam mempunyai konsep negara dan Islam dengan politik tidak dapat dipisahkan. Menurut Deliar Noer, sebagai sebuah konsep (bukan nama) negara Islam dilandasi oleh:
1. Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai pegangan hidup bernegara,
2. Hukum harus dijalankan,
3. Prinsip Syura (Musyawarah) dijalankan,
4. Kebebasan diberikan tempat,
5. Toleransi antar agama.
Kebijakan keagamaan di Indonesia telah menempuh jalan yang panjang. Hingga tahun 1960-an, persoalan keagamaan yang beraneka ragam di tanah air belum banyak tersentuh. Pemerintah sejak lama memandang keanekaragaman agama ini sebagai potensi penghambat pembangunan Indonesia yang satu dan kuat. Kementerian agama yang di bentuk pada tahun 1946 memiliki tugas yang eksplisit antara lain mengawasi kegiatan keagamaan dan aliran-aliran/paham-paham, melakukan bimbingan dan pembinaan terhadap gerakan mistik agar kembali ke agama induk dan mengharuskan mereka untuk menegakkan hukum dan peribadatan agama khususnya Islam.
Tugas-tugas ini menunjukan bahwa negara mulai menerapkan pemikiran sistemik secara lebih tegas. Selain itu, tugas pokok lain adalah membimbing dan membina masyarakat penganut agama resmi seperti Islam, Kristen Prostetan, Katolik, Hindu dan Budha (Muhammadiyah dalam Gonjang-ganjing Politik. Penerbit Media Pressindo. Hal. 53).
Pemerintah sendiri membuat definisi agama resmi yang diakui pemerintah sebagai sistem keyakinan kepada Tuhan yang memiliki kitab suci, nabi-nabi dan ajaran-ajaran. Dalam hal kebijakan keagamaan ini paling tidak pemerintah melakukan tiga hal. Pertama, membina umat yang sudah beragama di seluruh pelosok; Kedua,Memberagamakan warga masyarakat yang dianggap belum beragama; Ketiga, Pemerintah memerankan diri sebagai wasit sekaligus pemain dalam hubungan antarumat beragama.
Dari sudut pandang intrinsik, maka secara sederhana agama adalah keyakinan akan entitas spiritual. Jika kita menggunakan definisi yang lebih kompleks. maka agama adalah suatu sistem simbol yang bekerja memantapkan suasana jiwa dan motivasi yang kuat, mendalam dan bertahan lama pada diri manusia dengan memformulasikan konsepsi-konsepsi keteraturan umum mengenai keberadaan dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas sehingga suasana jiwa dan motivasi tersebut seolah-olah secara unik nyata ada.
Dinamika hubungan antara agama dan negara berlangsung dalam konteks instrumentalisasi yang kerap kali ditempeli oleh muatan potensi integratif maupun disintegratif. Dengan konkretisasi, interpretasi dan formalisasi agama dalam kehidupan yang nyata, manusia memiliki legitimasi untuk menjadikannya sebagai instrument kekuasaan.
Ada tiga kemungkinan skenario politik keagamaan.: Pertama, agama dan negara terpisah satu sama lain. Doktrin agama hanya menjadi pedoman hidup manusia sebatas dalam keluarga dan masyarakat yang berwadahkan keorganisasian dalam masjid, gereja, kuil, dan lain-lain. Segala sesuatu yang berurusan dengan agama diselesaikan dalam institusi kegamaan tersebut. Prinsip utamanya adalah “Agama adalah Agama”. Dalam kenyataan, sukar menemukan pada abad global ini suatu institusi agama yang tidak tercemar sama sekali dengan pergumulan duniawi di luar dari agama.
Kedua, Agama dan Negara terikat satu sama lain (Integralistik) dalam pengertian agama memberi corak dominan atas negara. Dalam konteks ini agama bermain penuh sebagai instrumen, yakni aktualisasi agama di dalam sebagian besar institusi negara seperti institusi politik, ekonomi, hukum dan lainnya.
Ketiga, Agama ditempatkan dalam suatu sistem negara yang mengutamakan harmoni dan keseimbangan. Agama direduksi menjadi salah satu unsure saja dari sistem yang dipandang saling tergantung dengan unsur-unsur lain. Kebijakan kebijakan yang merupakan konkretisasi pendekatan sistemik ini jelas sekali menekankan kontrol yang tegas terhadap unsur-unsurnya, termasuk unsur agama agar selalu terwujud keteraturan yang harmonis tanpa guncangan. Setiap kali ada gejolak sekecil apapun, langsung diredam oleh negara (pemerintah) sehingga keseimbangan tercapai kembali.
Pendekatan ini langsung menempatkan negara (pemerintah) dalam kedudukan sentral yang lambat laun seolah melepaskan diri dari sistem dan bahkan mengontrol sistem. Keadaan ini membuat negara (pemerintah) semakin kuat karena sistem posisinya merosot menjadi subordinat, kehilangan kekuatan untuk mengontrol negara. Negara cenderung otoriter karena akumulasi kekuasaan berada di tangannya. Bagi KH Sahal, kepolitikan merupakan realitas historis atau Sunatullah yang tidak bisa terelakkan, menurutnya bahwa dalam proses hidupnya manusia tidak lepas dari pengaruh watak politik.
Telah menjadi sunatullah barangkali setiap kelompok ada yang dikuasai dan ada yang menguasai, ada yang memerintah dan yang diperintah serta ada yang dipengaruhi dan mempengaruhi, itulah konteks politik. Politik merupakan kebutuhan hidup menurut naluri manusiawi. Artinya bahwa Agama dan Negara tidak dapat dipisahkan. Kata din wasiyasah sesungguhnya menggambarkan bentuk integrasi agama dan negara. Meskipun negara (politik) dan agama tidak dapat dipisahkan, namun bukan berarti negara beserta produk-prosuknya harus berlabel Islam.
Relasi agama bagi K.H Sahal mengacu pada “simbiosis mutualisme” keduanya saling mempengaruhi dan membutuhkan untuk kemaslahatan umat. Negara harus di beri keleluasaan untuk mengatur aspek ideologis, karena bagaimanapun juga bagi bangsa Indonesia yang memiliki bermacam-macam agama, agama akan lebih berfungsi positif bila dilepaskan dari permasalahan ideologis.
Di lain pihak, independensi agama dalam hal yang menyangkut ibadah dan ajaran keimanan haruslah dihormati oleh negara. Pengaturannya selama ini masih dapat dititipkan pada sejumlah perangkat formal seperti undang-undang keormasan. Tetapi pada masa-masa yang akan datang hubungan itu akan lebih hidup bila dikembangkan melalui dialog budaya yang hidup dan berlingkup luas.
Kekuasaan politik haruslah sejalan dengan tujuan syariat, yaitu memelihara agama (din), akal (aql), jiwa(nafs), harta (mal) dan keturunan (nasl). Sementara pemimpin tidak hanya mereka yang memegang jabatan formal-struktural, mereka yang memegang kekuasaan kultural juga disebut pemimpin. Kepemimpinan politik kultural mempunyai fungsi yang strategis yakni sebagai kekuatan untuk mendinamisir masyarakat, memberikan pendidikan politik tentang hak dan kewajiban seorang warga negara di akar rumput (grass root).
Dalam konteks hubungan agama dan negara (ulama dan penguasa) dapat dijelaskan dengan prinsip “akomodasi kritis”, yaitu prinsip yang menuntut kemampuan para ulama untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan yang integratif terhadap agama. Islam harus di pandang sebagai faktor komplementer bagi komponen-komponen lain, Islam dalam hal ini difungsikan sebagai faktor integratif yang mendorong timbulnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan berkeadilan.
Agama secara hakiki berhungan dengan politik. Kepercayaan agama dapat mempengaruhi hukum, perbuatan yang oleh rakyat dianggap dosa, seperti sodomi dan incest, sering tidak legal. Seringakali agamalah yang memberi legitimasi kepada pemerintahan. Agama sangat melekat dalam kehidupan rakyat dalam masyarakat industri maupun nonindustri, sehingga kehadirannya tidak mungkin tidak terasa di bidang politik. Sedikit atau banyak, sejumlah pemerintahan di seluruh dunia menggunakan agama untuk memberi legitimasi pada kekuasaan politik.
Hubungan politik dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia, tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan legitimasi adalah bidang politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat dan sumbernya yang transcendent.
Teologi Politik Kristen di Indonesia
Upaya berteologia politik telah lama ada dalam khasanah keristenan di Indonesia. Sebagai suatu proses yang tidak pernah berhenti, eksperemintasi berteologia politik itu telah dicatat sejarah pada masa penjajahan. Bahkan dapat dikatakan unik, sebab upaya itu tidak berangkat dari laboratorium intelektual, tetapi justru dari kalangan publicans, seperti Pattimura yang melakukan gerakan politik dengan mengangkat senjata di Maluku dan Manullang dan kawan-kawan di tanah Batak yang melakukan bentuk-bentuk penyadaran dan pengorganisasian yang mengusung tema-tema kemandirian dan kerja keras. Pada masa-masa pembebasan diri dari penjajahan, orang-orang kristen juga telah melakukan bentuk-bentuk teologia yang operasional dengan mendirikan organisasi-organisasi kemasyarakatan dan sebagian merubah diri menjadi partai politik. Kita dapat mencatat perkumpulan sosail Mardi Pratojo yang kemudian menjadi Partai Perserikatan Kaum Kristen (PKC) atau Christelijke Ambonche Volksbond (CAV), dll. Hal yang sama juga terjadi pada saat Indonesia merdeka. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) hadir sebagai bagian dari upaya dan proses berteologia politik secara operasional. Muatan atau tema-tema yang diusung dan dikomunikasikan kepada orang-orang kristen adalah dari dan demi kepentingan ‘orang kristen’. Sesuatu yang seringkali dikatakan orang sebagai lebih berpolitik ‘teknis’ ketimbang berpolitik ‘etis’. Disadari atau tidak, telah terjadi pembiaran yang berkepanjangan dalam tataran konseptual teologia politik kristen di Indonesia. Dasar berpijak dalam tabung ‘independensi’ gererja, dalam realitasnya seringkali diterjemahkan sebagai netralitas dan sterilisasi politik dalam semua ruang gereja.
Orang kristen harus menghormati kewibawaan pemerintahan dunia selama kebijakan itu dilakukan demi kesejahteraan masyarakat dan didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Tetapi kebijakan itu tidak boleh mengambil alih kewibawaan atau wewenang Allah. Bagaimana seharusnya orang kristen sebagai warga negara menaati lembaga-lembaga resmi negara yang mengatur kehidupan masyarakat dalam usahanya menegakkan kebenaran dan keadilan kesejahteraan masyarakat ditulis di Roma 13:13. Sikap orang kristen terhadap politik ada 3 bersifat antagonistis, rejektif, dan menyesuaikan. Respon yang benar itulah yang lebih penting dan menentukan sikap terhadap berbagai gejolak politik yang terjadi. Allah menghendaki orang kristen taat kepada pemerintah, sesuai dengan pengertian bahwa pemerintah menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh Allah. Tentunya pmerintah harus mempertanggung jawabkannya kepada pemberi kekuasaan yaitu Allah sendiri. Jika orang kristen tidak taat kepada pemerintah dan berpartisipasi secara aktif sebagai warga negara yang bertanggung jawab maka citra kekristenan akan rusak. Orang Kristen harus mengakui lembaga pemerintahan yang diadakan oleh karena kehendak Allah.
Pendekatan Agama Buddha terhadap politik
Pendekatan Agama Buddha terhadap politik adalah kemoralan dan tanggung jawab penggunaan kekuatan masyarakat. Sang Buddha mengkotbahkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian sebagai pesan universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau penghancuran kehidupan dan mengumumkan bahwa tidak ada satu hal yang dapat disebut sebagai suatu perang 'adil'. Beliau mengajarkan, "Yang menang melahirkan kebencian, yang kalah hidup dalam kesedihan. Barang siapa yang melepaskan keduanya baik kemenangan dan kekalahan akan berbahagia dan damai". Sang Buddha tidak hanya mengajarkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian, Beliau mungkin guru agama pertama dan satu-satunya yang pergi ke medan perang secara pribadi untuk mencegah pecahnya suatu perang. Beliau menguraikan ketegangan antara suku Sakya dan suku Koliya yang siap berperang atas air Sungai Rohini. Beliau juga meminta Raja Ajatasattu supaya jangan menyerang Kerajaan Vajji. Sang Buddha mendiskusikan penting dan perlunya suatu pemerintahan yang baik. Beliau memperlihatkan bagaimana suatu negara dapat menjadi korup, merosot nilainya dan tidak bahagia ketika kepala pemerintahan menjadi korup dan tidak adil. Beliau berbicara menentang korupsi dan bagaimana suatu pemerintahan harus bertindak berdasarkan pada prinsip- prinsip kemanusiaan. Suatu kali Sang.Buddha berkata, "Ketika penguasa suatu negara adil dan baik para menteri menjadi adil dan baik; ketika para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi adil dan baik; ketika para pejabat tinggi adil dan baik, rakyat jelata menjadi baik; ketika rakyat jelata menjadi baik, orang-orang menjadi adil dan baik". (Anguttara Nikaya).
Agama Buddha dapat atau harus tidak terlibat dalam proses politik, yang merupakan suatu realitas sosial. Bagaimanapun kehidupan anggota masyarakat dibentuk oleh hukum-hukum dan peraturan-peraturan, aturan-aturan ekonomi, lembaga-lembaga, yang dipengaruhi oleh penataan politik dari masyarakat tersebut. Namun, jika seorang umat Buddha berharap untuk terlibat dalam politik, dia harus tidak menyalahgunakan agama untuk memperoleh kekuatan politik. Juga tidak dianjurkan bagi mereka yang telah melepaskan kehidupan duniawi untuk menjalani suatu kehidupan agama yang murni untuk secara aktif terlibat dalam politik.
Politik dan Agama Hindu
Dalam beberapa dasawarsa belakangan ini, system kasta tidak diakui lagi sebagai nilai agama Hindu dan versi ini yaitu agama Hindu tanpa kasta, hanya dikomunikasikan oleh kelompok kecil para pengikut saja dan itupun kurang berhasil. Sebab menurut agama Hindu tradisional, hierarki kasta sosial dengan kasta brahmana ditingkat teratas itu, ditentukan oleh Tuhan bagaimana dinyatakan dalam kitab-kitab sucinya. Hal ini terbukti dimasa kini banyaknya orang-orang yang beragama Hindu turut serta berpartisipasi dalam kegiatan politik. Hal ini merupakan salah satu wujud dari keterbukaan kasta tersebut. Dalam keikutsertaannya dalam politik, orang-orang Hindu cenderung tidak mencampuradukan antara agama dan politik. Akan tetapi dalam keikutsertaannya dalam politik, orang-orang Hindu tersebut tetap berpedoman pada agama yang mereka anut.