Wednesday, 20 April 2016

Published 00:07:00 by

Hubungan Masyarakat dan Agama



PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

          Agama merupakan sistem kepercayaan manusia dan diyakini sebagai pembawa kedamaian pada diri manusia, dan salah satu Unsur Universal dalam kehidupan umat manusia adalah agama (atau dapat disebut dengan sistem religi), agama merupakan bagian dari sistem religi ini. Hampir setiap umat manusia di bumi mengenal keberadaan agama. Kemunculan agama tidak lepas dari munculnya sebuah kesadaran diri manusia mengenai kekuatan yang melebihi kekuatan dirinya. Agama yang menyangkut kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan masalah sosial dan sampai saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat.

          Kepercayaan dan peribadatan agama sudah menjadi ciri universal masyarakat manusia. Namun , manusia tidak hanya berdo’a, menyembah (Tuhan), dan berkorban saja (berserah diri), melainkan mereka juga harus memikirkan peribadatan-peribadatan mereka sendiri, dan dengan demikian berkembanglah kajian-kajian yang kita sebut dengan teologis, filsafat agama dan perbandingan agama. Dengan demikian, para sosiolog mengungkapkan pandangan-pandangan mereka tentang agama yang yang dianut oleh berbagai umat manusia secara universal. Untuk itu, akan dijelaskan tentang ulasan-ulasan agama serta pengaruh agama terhadap manusia itu sendiri.

B.      Rumusan Masalah

1. Bagaimana pandangan para sosiolog terhadap Agama itu sendiri ?

2. Bagaimana pengaruh Agama terhadap umat manusia ?

3. Apa saja pola-pola penting di dalam Agama ?











PEMBAHASAN

1.    Agama Menurut Pandangan para Sosiolog

          Dalam masyarakat yang sudah mapan, agama merupakan salah satu struktur institusional penting yang melengkapi keseluruhan sistem sosial. Akan tetapi masalah agama berbeda dengan masalah pemerintahan dan hukum , yang lazim menyangkut alokasi serta pengendalian kekuasaan. Masalah inti dari agama tampaknya menyangkut sesuatu yang masih kabur serta tidak dapat diraba, yang realitas empirisnya sama sekali belum jelas. Dalam sosiolog Itali Vilfredo Pareto, masalah ini menyangkut dengan apa yang disebut, “pengalaman transenden”, mengartikan pengalaman atas kejadian yang ada sehari-hari dan yang dapat diamati atau penyaringan dan penanganan yang sistematis terhadap pengalaman secara ilmiah.[1]

          Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublim, sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu. Tetapi agama telah pula dituduh sebagai penghambat kemajuan manusia, dan mempertinggi fanatisme dan sifat tidak toleran. Catatan yang ada menunjuk agama sebagai salah satu penghambat tatanan sosial yang telah mapan. Tetapi agama juga memperhatikan kemampuaannya melahirkan kecenderungan yang sangat revolusioner. Emile Durkheim seorang pelopor sosiologi agama di perancis mengatakan bahwa agama merupakan sumber semua kebudayaan yang sangat tinggi, sedangkan Karl Marx mengatakan bahwa agama adalah candu bagi manusia. Jelas agama menunjukkan seperangkat aktivitas manusia dan sejumlah bentuk-bentuk sosial yang mempunyai arti penting.[2]

Yang pertama, dari pernyataan Durkheim diatas diperkuat dengan anggapan lain mengenai agama. Agama dipandangnya merupakan aspek sakral dari masyarakatnya. Agama, menurutnya, tidak berkenaan dengan supra natural, tetapi berkenaan dengan sesuatu yang sakral. [3]Dalam pandangan lain oleh Durkheim, manusia atau masyarakat yang mempercayainya (sakral) itu sajalah yang menjadikannya suci atau bertuh, tidak adanya karena sesuatu yang lain atau istimewa dalam benda tersebut. Suci atau sakral bukan sifat benda itu sendiri, tetapi diberikan oleh manusia atau masyarakat yang mensucikannya kepada benda yang disucikan.

Agama adalah masyarakat dalam bentuk lain. Agama bersumber, berasal, terletak di masyarakat.  Agama bukanlah metafenomenal yang sering dipahami selama ini, tetapi sebuah fenomena kemasyarakatan. [4]Agama adalah sistem yang menyatu mengenai benda sakral, yakni katakanlah benda-benda yang terpisah dan terlarang, kepercayaan-kepercayaan dan peribadatan-peribadatan yang mempersatukan semua orang yang menganutnya kedalam suatu komunitas moral yang disebut gereja.

Agama penurut pandangan Durkheim telah kehilangan `roh' nya sebagai pengikat solidaritas sosial. Karena agama yang dipahami orang adalah abstrak dan tidak membumi. Maka agama masyarakatlah yang mampu mengikat masyarakat Tesis ini berusaha menelusuri akar-akar pemikiran Durkheim tentang Agama. Pilar pembahasan diawali dengan pandangan Durkheim tentang masyarakat, Sosiologi (fakta sosial) , moralitas dan agama. Kemudian faktorfaktor dan akar-akar pemikiran durkheim diidentifikasikan dan dianalisis. Dari pembahasan ditemukann bahwa agama dalam pengertian Durkheim adalah kepercayaan masyarakat yang turun temurun, bukan agama dalam pengeritan agama samawi. Pemikirannya tentang agama sangat positivistik-sekuler.[5]

            Karakteristik yang paling mendasar ditemukan Durkheim dari setiap kepercayaan agama yaitu tidak terletak pada yang supranutural, tetapi pada konsep tentang “yang sakral”. Pada hakikatnya dalam kehidupan beragama maupun orang-orang religius selalu membagi dunia menjadi dua bagian yang terpisah: “dunia yang sakral” dan “dunia yang profan”. Hal-hal yang sakral diidentikkan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa,selalu dihormati, tidak di sentuh. Sebaliknya, hal-hal yang profan didentikkan dengan keseharian hidup dan bersifat biasa-biasa saja. Konsentrasi utama agama terletak pada yang sakral.[6]

            Kedua, dari Clifortd Geertz yang mengartikan agama di Jawa memiliki tiga tipe kebudayaan yaitu abangan, santri, dan priyayi. Geertz menjelaskan tentang adanya Agama Jawa yang memiliki konflik serta Integrasi, seperti yang dipaparkan diatas yaitu pembagian kebudayaan di Jawa.


1.      Tradisi keagamaan Abangan yang terutama memiliki corak ritual yang khas disebut dengan slametan, kepercayaan yang kompleks dan rumit mengenai makhluk halus, dan seperangkat teori, praktik pengobatan, sihir, dan ilmu gaib adalah subvarian terpenting dalam sistem keagamaan orang jawa secara umum. Dan abangan mewakili penekanan pada aspek animistis dari sinkretisme Jawa dan secara luas dihubungkan dengan golongan petani.


2.      Santri, merupakan substradisi Islam yang lebih murni, walaupun lebih umum dan lebih luas subvarian santri ini dihubungkan dengan unsur dagang orang Jawa, tetapi juga ada kaitannya dengan petani kaya dengan mendirikan sekolah-sekolah agama. Tradisi keagamaan Santri tidak hanya terdiri dari pelaksanaan yang tertib rukun Islam, sembahyang, puasa, haji, tetapi juga keseluruhan yang kompleks dari organisasi sosial, kedermawan dan politik Islam merupakan subvarian kedua sistem keagamaan orang Jawa pada umumnya. Penekanannya pada aspek Islam yang dihubungkan dengan aspek dagang (dan juga kepada unsur tertentu dikalangan tani).[7]


3.      Priyayi, pada mulanya hanya digunakan untuk menyebut kalangan turun- temurun oleh Belanda yang diambil mudah dari raja-raja pribumi yang ditaklukkan kemudian diangkat sebagai penjabat sipil yang di gaji. Namun, dengan berkembangnya waktu kedudukan sosial politik yang menempati kalangan priyayi tak lagi diduduki oleh kalangan elit saja, akan tetapi mulai merambah di kalangan keturunan rendahan. Hal tersebut dapat berkembang karena masyarakat kalangan bawah mulai setara dengan kalangan elit dengan pendidikan yang sama sehingga terjadi pergeseran sosial.[8]

Ketiga, Max Webber,

Keempat, Joachim Wach, di dalam sebuah karya penting tentang sosiologi agama, telah menunjukkan empat kriteria universal untuk mengetahui pengalaman keagamaan, pertama, agama adalah tanggapan terhadap apa yang dialami sebagai relitas yang tertinggi. Kedua, pengalaman agama adalah suatu tanggapan total dari semua makhluk pada apa yang tampak sebagai realitas tertinggi. Ketiga, pengalaman religi adalah pengalaman yang paling dalam dimana manusia mampu. Keempat, pengalaman agama meliputi hal yang “imperative” yaitu suatu komitmen yang memaksa manusia untuk bertindak. Hal ini membedakan agama dari pengalaman moralnya. Kemudian penilaian moral tidak harus menunjukkan reaksi terhadap realitas yang tertinggi.[9]

2.      Pengaruh Agama terhadap Umat Manusia

Hubungan Agama dengan masyarakat menyajikan sebuah dilema fundamental yang bisa dikedepankan dalam tiga aspek. Aspek pertama dan yang terpenting, agama melibatkan manusia pada situasi akhir dititik mana lahir kesadaran akan hal tertinggi. Kedua, agama menyangkut hal-hal yang suci, karena itu agama berkenaan dengan pemahaman dan tanggapan khusus yang membutuhkan keluhuran pandang atas obyeknya. Agama merupakan model kesadaran yang sangat lain dibanding dengan suasana sekuler, secara fundamental ia disebut heterogen. Ketiga, agama dilandaskan pada keyakinan, karena itu obyeknya adalah supraempiris dan ajarannya tidak mungkin diperagakan atau dibuktikan secara empiris.[10]

Agama sebagai unsur penting dalam kebudayaan memberikan bentuk dan arah pada fikiran, perasaan, tindakan manusia. Ia menyeimbangkan orientasi nilai, aspirasi dan ego ideal manusia. Tetapi agama bertumpu pada keyakinan diatas suatu kesepakatan kepada supra empiris. Jadi agama menunjukkan dirinya sebagai pemeraga dilema. Manusia beragama pasti hidup dan berhubungan dengan dua dunia pengalaman yang heterogen dan tidak berkesesuaian. Agama merupakan dorongan bagi pengembangan pemahaman manusia atas diri, perilaku, fikiran, dan perasaannya, serta hubungannya dengan manusia lain yang dijumpainya dalam masyarakat.[11]

Dalam pandangan beragama sebenarnya memiliki kepenganutan yang berbeda-beda, pandangan yang beragam itu sebenarnya semakin menunjukkan adanya kesatuan diantara (para penganut) agama-agama yang secara intuitif telah ditangkap oleh Scheilermacher ketika ia mengatakan, “Semakin pesat kemajuan dalam agama, semakin tampak bahwa dunia keagamaan adalah satu kesatuan yang tak terbagi”.[12] Hal ini membuktikan bahwa agama berpengaruh terhadap kehidupan manusia sehingga, walaupun bermacamam-macam kepercayaan yang mereka anut akan tetapi memberikan warna dalam pemersatu dan kesatuan pada umat beragama. Dalam kajian ini, pengaruh agama bagi kehidupan manusia antara lain:

a.      [13]Agama Sebagai Menuju Jalan Penyelamatan

Ilmu Humaniora tidak sering memberikan jawaban dan penjelasan yang memuaskan mengenai tujuan kehidupan manusia. Saat setiap orang mengejar berbagai tujuan dengan beragam cara, masyarakat yang terorganisasikan tidak akan berbentuk. Agama mampu memberikan tujuan tertinggi sehingga masyarakat memiliki kesamaan arah dan tujuan serta tanggung jawab untuk mewujudkan suatu tantangan masyarakat yang berkeadilan. Dengan demikian, setiap anggota masyarakat terhindar dari rasa ketakutan dan menjadi sumber untuk bertahan hidup, maju, dan berkembang.

Agama hanya dapat menjalankan perannya secara efektif dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, diperlukan tiga keyakinan yang bersumber dari keyakinan Ibrahim untuk menjadikan keselamatan atau perdamaian sebagai inti ajarannya. Sebagai contoh, Islam berarti penyerahan diri secara total terhadap kehendak Allah SWT. Dan perdamaian diantara sesama manusia dengan cara melakukan perbuatan yang baik serta meninggalkan perbuatan yang jelek. Demikian pula, bagi Yahudi, mengacu pada pengertian keharmonisan organik, pemenuhan kewajiban, penunaian tugas, kebaikan atau rekonsiliasi atas berbagai pertentangan.

Perlu disadari bahwa masalah pluralisme Agama tersebut merupakan  sebuah kerugian besar bagi nilai-nilai keagamaan. Perpecahan antar agama merupakan kerugian intelektual dalam melawan sekularisme. Ketika sebuah masyarakat mengabaikan nilai-nilai keagamaan, masyarakat tidak akan dapat memelihara peradaban yang akan mengarahkan manusia pada kualitas tertinggi. Dalam hubungan ini, para penganut agama dituntut untuk bekerja sama dalam rangka mengedepankan nilai-nilai keagamaan universal sehingga mereka menjadi nilai publik melalui proses integrasi.

Nilai-nilai sepiritual dan agama memiliki keunggulan dari pada sekedar capaian-capaian materiil. Sesungguhnya hal itu merupakan satu-satunya nilai yang dapat diikuti manusia menuju kemajuan sejati.

b.      Agama Sebagai Faktor Pemersatu Bangsa

Contoh langsung bagi negara kita yaitu kemajemukan bangsa Indonesia merupakan kenyataan yang tidak hanya dapat diamati dari segi keanekaragaman, tetapi juga dari segi agama yang dianutnya. Satu hal yang tidak dapat dihindari ialah tata nilai yang dihargai dan dihayati oleh masyarakat Indonesia tidak sama, apalagi satu. Tata nilai itu menyangkut dimensi kehidupan manusia.

Peranan agama sebagai perekat dan sekaligus pemisah umat manusia sangat berpengaruh dalam proses kesatuan bangsa, meskipun sering timbul berbagai asumsi menyangkut signifikansi faktor agama dalam proses diatas. Walaupun demikian, cukup banyak contoh yang bisa dikemukakan perihal kaitan antara agama dan integrasi nasional. Kasus pembentukan negara Pakistan misalnya menjadi contoh klasik. Berdirirnya Pakistan menegaskan berbedaan agama yang tak terjembatani. Pada akhirnya, pemisahan kedua bangsa menjadi India dan Pakistan. Fenomena yang sama juga dialami Irlandia Utara. Perbedaan agama telah menjadi batu sandungan persatuan bangsa Irlandia dengan imperium Britania Raya (Inggris).

Secara eksplisit, kedua kasus tersebut menegaskan peranan agama sebagai faktor pemisah, atau bahkan pemecah bangsa. India dan Inggris terpecah oleh adanya perbedaan agama. Secara implisit, bila dilihat dengan sudut pandang yang berbeda, kasus diatas menunjukkan bahwa agama mampu menjadi faktor perekat kelompok. Para penganut agama Islam di anak Benua India, terkondisikan untuk menegaskan solidaritas kelompoknya ditengah identitas agama Hindu yang dominan.[14]

c.       Agama Sebagai Ketentraman Rohani

Agama merupakan sebagai suatu kepercayaan yang dianut oleh manusia yang sangat berpengaruh besar terhadap kehidupan mereka. Tidak hanya dalam kehidupan sosial tetapi dalam kehidupan beragama. Manusia sering merasa tidak nyaman akan kondisi kehidupan yang dijalani, namun dengan berpegangkan oleh agama senantiasa manusia menjadi lebih memiliki tujuan hidup sebenarnya. Kaitannya dengan agama sebagai penentram rohani yaitu ketika seseorang dalam kondisi tidak mampu untuk menghadapi berbagai masalah duniawi, maka seseorang tersebut akan meminta petunjuk bagi masalah-masalah dengan Tuhan mereka dan berserah diri agar diberi segala kemudahan dalam perjalanannya menghadapi kehidupan dan selalu ingat dengan sang Khalik sehingga lebih dekat dengan Tuhan. Dengan kondisi semacam itu, agama merupakan kepercayaan yang mampu membawa manusia dalam kedamaian dan penentram jiwa atau rohani.

Hal tersebut dapat membuktikan bahwa tanpa kepercayaan manusia tidak memiliki pedoman sehingga menyebabkan sikap-sikap yang keluar dari aturan dan sesukanya dalam problematika kehidupan. Namun, tak sedikit juga ada manusia yang tidak memiliki kepercayaan tetapi mampu berbaur dengan baik di kehidupan sosial.


3.      Pola-Pola Penting Dalam Agama

a.      [15]Aspek-Aspek Agama Primitif

Masyarakat primitif ditandai oleh relatif tidak adanya direferensi sosial dan kebudayaan. Yakni, masyarakat tersebut cenderung tidak memiliki kelompok-kelompok spesialisasi yang jelas dan kolektif-kolektif dengan tugas-tugas, masalah-masalah, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda, dan juga cenderung tidak adanya perangkat keyakinan yang jelas berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan sosial dan alamiyah, maupun gejala fisik. Kalau demikian, sifat primitif hakikatnya terletak pada ciri masyarakat yang tak berdeferensiasi sebagaimana dibahas secara tajam oleh Mary Douglas. Tulisan Douglas merupakan contoh analisa antropologi sosial yang sangat baik mengenai makna dan signifikasi kepercayaan dan simbol-simbol primitif.

b.      [16]Agama dalam Perspektif Sejarah

Judaisme, Kristen, dan Islam umumnya diakui sebagai agama yang memiliki dinamika paling besar dalam tradisi-tradisi agama besar. Setiap agama ini memanifestasi perkembangan dan nasib sejarah.Troeltsch dan Gellner menunjukkan masalah-maslah yang dihadapi oleh Kristen dan Islam dalam mencoba mempertahankan atau menigkatkan hegemoni keagamaan. Tulisan Troeltsch secara khusus sangat berhubungan dengan Katolik pada masa pertengahan, sedangkan tulisan Gellner lebih umum membicarakan dinamika Islam dan hubungannya dengan “dunia” dibandingkan dengan Kristen. Kebalikan dari agama primitif kita dapat melihat kasus dari kedua agama ini, Kristen dan Islam, suatu tingkatan perbedaan ideal agama yang sangat besar, dan khususnya dalam kasus Kristen, perangkat pranata yang sangat khusus dimana ide-ide agama dipertahankan dan dihasilkan.

c.       Agama dalam Masyarakat Industri Modern

Kebalikan dari zaman kuno masyarakat Kristen, masyarakat modern dimana Kristen bersifat prevalen cenderung ditandai oleh kombinasi pluralisme agama dan hilangnya kontrol agama. Dalam beberapa masyarakat, seperti Itali dan Spanyol, suatu gereja yakni Roma Katolik, harus mempertahankan monopoli atau hampir memonopoli seleruh pengawasan agama. Namun sebagian besar yang lain adalah pluralistik yakni, mereka memiliki sejumlah orientasi keagamaan.[17]

Konfigurasi makna yang menunjukkan kenyataan simbolik agama gereja tradisional nampaknya tidak berkaitan dengan kebudayaan masyarakat industri modern. Tentu saja, internalisasi kenyataan simbolik agama tradisional, dalam batasan-batasan tertentu, tidak akan diterima oleh struktur masyarakat kotemporer. Fakta ini ikut menjelaskan mengapa agama gereja tradisional bergerak ketepi kehidupan kontemporer. Penemu-penemu ini tidak sesuai dengan kenyataan bahwa tantangan-tantangan ideologi anti gereja memainkan peranan penting. Jika gereja-gereja tersebut tetap hidup terutama karena asosiasinya dengan kelompok-kelompok sosial dan lapisan-lapisan sosial yang terus berorientasi kepada nilai-nilai keteraturan sosial di masa lampau. Dalam kenyataan, transformasi yang kurang radikal dari lokasi sosial maupun alam makna dari agama gereja dapat terjadi bersamaan.[18]
















KESIMPULAN

Agama merupakan salah satu struktur institusional penting yang melengkapi keseluruhan sistem sosial. Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublim, sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu. Dalam kajian agama menurut sosiolog, tokoh-tokoh dalam pembahasan antara lain: Emile Durkheim, Karl Max, Cliford Geertz, Max Webber, dan lain sebagainya. Sedangkan pengaruh agama terhadap manusia yaitu Hubungan Agama dengan masyarakat menyajikan sebuah dilema fundamental yang bisa dikedepankan dalam tiga aspek. Aspek pertama dan yang terpenting, agama melibatkan manusia pada situasi akhir dititik mana lahir kesadaran akan hal tertinggi. Kedua, agama menyangkut hal-hal yang suci, karena itu agama berkenaan dengan pemahaman dan tanggapan khusus yang membutuhkan keluhuran pandang atas obyeknya. Kemudia pola-pola penting dalam agama yaitu, aspek-aspek agama primitif, agama dalam perspektif sejarah, dan yang terakhir agama dalam masyarakat industri modern.

















DAFTAR PUSTAKA

F. O’Dea, Thomas. 1996.  Sosiologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Scharf R., Betty. 1995. Kajian Sosiologi Agama. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Robertson, Roland ed. 1993.  Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada.

Agus, Bustanuddin.  2006. Agama dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Kahmad, Dadang . 2011.  Sosiologi Agama. Bandung: Pustaka Setia.

Muchtar Ghazali, Adeng. 2005. Ilmu Studi Agama. Bandung: CV Pustaka Setia.

Pdf, oleh Syarif Moeis, hlm 10, diakses pada jum’at 11 maret 2016 pukul 19:00 wib.




[1] Thomas F. O’Dea, 1996, Sosiologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm  1-2

[2] Ibid, hlm 2-3

[3] Bustanuddin Agus, 2006, Agama dalam Kehidupan Manusia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm 81

[4] Betty R. Scharf, 1995, Kajian Sosiologi Agama, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, hlm 30

[5] Pdf, oleh Syarif Moeis, hlm 10, diakses pada jum’at 11 maret 2016 pukul 19:00 wib.

[6] Roland Robertson, ed, 1993, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, hlm 201

[7] Ibid, hlm 202-204

[8] Ibid, hlm 204

[9] Thomas F. O’Dea, 1996, Sosiologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm  65-66

[10] Ibid, hlm. 217-218


[11] Ibid, hlm. 222-224

[12] Adeng Muchtar Ghazali, 2005, Ilmu Studi Agama, Bandung: CV Pustaka Setia, hlm 20

[13] Dadang Kahmad, 2011, Sosiologi Agama, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 162-167

[14] Ibid, hlm. 146-147

[15] Roland Robertson, ed, 1993, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, hlm 81

[16] Ibid, hlm 133

[17] Ibid, hlm. 167-168

[18] Ibid, hlm 180-181
      edit
Comments
0 Comments