BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Agama hampir dapat dipastikan akan mengalami
dampak yang cukup mengancam kelangsungan hidupnya, ketika sekularisasi
besar-besaran telah menggusur ikatan yang bersifat “sakral, suci, dan
transenden”, sehingga afinitas keagamaan makin pudar dan luntur, bahkan kadar
keberagamaan dalam pergaulan hidup manusia era modern, inilah salah satu ciri
dan dampak dari era yang disebut “Zaman Teknik”.
Memang
harus diakui bahwa manusia telah melalui suatu perjalanan panjang dalam pencarian
hakekat dan makna pencarian hakekat dan makna hidupnya. Pengalaman demi
pengalaman telah dilalui yang pada akhirnya manusia telah sampai kepada puncak
kemajuan melalui pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), dimana
IPTEK mendominasi segala aspek kehidupan. Kemodernan identik dengan kehidupan
keserbaadaan. Sedangkan modernisasi itu sendiri merupakan salah satu ciri umum
peradaban maju – yang dalam sosiologi berkonotasi perubahan sosial masyarakat
yang kurang maju atau primitif untuk mencapai tahap yang telah dialami oleh
masyarakat maju atau berperadaban.
Mungkin
modernitas memang suatu keharusan sejarah manusia, modernisasi merupakan factor
yang sangat berpengaruh dalam kehidupan, baik individual maupun kemasyarakatan.
Tidak kurang filosof eksistensialis menyebut era ini sebagai “kehancuran”,
kendatipun membuka berbagai kemungkinan baru.
B.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana Dialektika Agama dan Modernitas?
b.
Apa Gejala dan Definisi Modernisasi?
c.
Bagaimana Pandangan Tentang Proses Modernisasi?
d.
Bagaimana Dampak dari Globalisasi ?
C.
Tujuan Masalah
a.
Agar dapat mengetahui Dialektika Agama dan
Modernitas.
b.
Memahami dan mengetahui Gejala dan Definisi
Modernisasi.
c.
Mengetahui dan memahami tentang proses
Modernisasi dan Dampaknya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dialektika
Agama dan Modernitas
1.
Dinamika Agama
Agama kerap diasumsikan bertolak belakang
dengan modernitas. Perbedaan pandangan tersebut dapat dilihat dari dua faktor. Pertama,
dikotomi ini ibarat pemisahan antara alam langit dan alam bumi. Realitas bumi
secara prinsip dalam khazanah masyarakat modern dianggap sebagai realitas
objektif, sedangkan realitas langit dianggap sebagai realitas subjektif.
Bagi masyarakat agama, justru sebaliknya.
Realitas langitlah yang merupakan realitas objektif dan realitas bumi sebagai
subjektif. Oleh karena itu, dalam tingkatan ilmu tertinggi (paling objektif).
Sementara agamis teknologi adalah ilmu rendah. Dalam masyarakat modern,
teknologi dengan logic of technic merupakan ilmu tertinggi, sementara
agama merupakan ilmu yang rendah.
Kedua,
dari segi asal-usul. Menurut masyarakat agama dalam pengertian orisinal tadi,
Tuhan adalah dasar atau asas dari segalanya. Bagi masyarakat modern, manusia
adalah dasar dari realitas ini dan Tuhan merupakan penafsiran manusia. Adapun
bagi kaum agamawan, pada awalnya manusia adalah tafsiran Tuhan. Maksudnya,
Tuhanlah yang merancang atau meencanakan kelahiran manusia dan alamnya. Pada
zaman modern ini, Tuhan dianggap sebagai rencana manusia atau penafsiran
manusia. Manusialah yang menafsirkan keberadaan Tuhan.
2.
Masalah Agama
Yang diungkapkan Erich Rohman, bahwa kebutuhan
manusia akan agama, berakar dalam kondisi dasar eksistensi spesies manusia.
Manusia memerlukan objek pengabdian semacam agama agar dapat mengatasi
eksistensisnya yang terisolasi dengan semua keraguan dari ketidakmampuannya
menjawab arti hidup.
Thomas F. O’Dea
menyebutkan ada enam fungsi agama, antara lain:
Pertama, agama mendasarkan diri manusia pada segala
sesuatu di luar dirinya. Ia memberikan dukungan moral dari ketidakpastian hidup
manusia. Ia juga memberikan berbagai alternatif penyelamatan dari kekecewaan
dan kesedihan, serta kegelisahan manusia.
Kedua, agama menawarkan suatu hubungan transendental
melalui pemujaan dan peribadatan, dengan memberikan dasar emosional bagi rasa
aman dan identitas yang lebih kuat di tengah ketidakpastian dalam hidupnya,
serta dalam menghadapi perubahan sejarah dirinya.
Ketiga, agama mensucikan nilai-nilai dan norma-norma
masyarakat yang telah dan akan terbentuk. Agama juga mempertahankan dominasi
tujuan kelompok di atas kepentingan dan dorongan individu.
Keempat, agama dapat memberikan standar nilai berupa
norma-norma yang telah terlembaga yang dapat dikaji kembali secara kritis. Kelima,
agama memberikan kesempatan bagi individu untuk mengenali identitas dirinya,
baik pada masa lampau maupun masa mendatang yang tak terbatas. Agama memperluas
ego manusia dengan memberikan spirit bagi alam semesta.
Keenam, agama berkaitan dengan evolusi hidup manusia.
Perkembangan usia seseorang mempengaruhi karakteristik tingkat keberagamaan
manusia. Dengan demikian, agama sebagai pandangan dunia (weltanchauung)
sesungguhnya tidak dipisahkan dari manusia. Dengan bahasa ilmiah empiris, dapat
dikatakan bahwa kecenderungan asli atau dasar manusia adalah menyembah Tuhan.
Tampaknya, posisi agama dalam konteks personalitas demikian tidak banyak
mempertentangkannya.
Agama Sebagai Kategori
Orientasi
Weber tentang “dunia” dan “akhirat” tetap merupakan kategori-kategori analisa
yang berguna sejauh kita menyadari bahwa orientasi tersebut dibangun dengan
acuan orientasi mental seorang pelaku, yang tetap harus membentuk keseimbangan
operasional antara keberadaan fisik dan sosial primer pelaku tersebut terhadap
yang lain, di lain pihak, atau selanjutnya keseimbangan antara dunia dan yang
lebih luas, semesta kosmos yang lebih inklusif.
Hubungan
antara “dunia” dan “akhirat” atau “alam baka” dikonsepsikan secara berbeda-beda
oleh para penganut agama yang bersangkutan:
a.
Bagian-dalam-keseluruhan: kehidupan ini
adalah sebutir debu belaka dalam kosmos yang dapat dikonsepsikan kurang lebih
tak berbentuk, tak mengenal waktu dan arah, atau sangat terstruktur.
b.
Pencerminan: kehidupan ini adalah lawan dari peradaban
“alam akhirat”, seperti dalam surga primitif di mana kehidupan adalah sama di
atas bumi, hanya “dispritualkan”;
c.
Emanasional: kehidupan adalah variable terikat dari Ide,
seperti dikemukakan Hegel;
d.
Ketergantungan dan kesatuan: kehidupan ini
adalah landasan bagi keberadaan yang lain yang “lebih tinggi”, jalur yang
diperlukan secara berturut-turut melalui “lembah air mata, di mana pada masa
itu roh mengalami ujian kesungguhan moral-spiritual, pada akhirnya diadili,
dihukum atau diganjar, masing-masing terjadi pada suatu peristiwa besar
(misalnya, Hari Pengadilan) atau interval-interval berkala (misalnya,
reinkarnasi yang silih berganti), bagi yang berhasil melampauinya dengan baik
akan memperoleh ganjaran derajat tertinggi, atau kenistaan bagi yang gagal –
yakni, dosa, cacat, keburukan – dan terserap ke dalam keabadian yang tak
mengenal waktu.
Unsur moral etika ini umum ditemukan, karena
pada agama yang paling transendental sekalipun biasanya mengenal dunia pada
batas memberi pedoman, walaupun minimal, cara-cara bertingkah laku di dunia
ini, dan terhadap manusia yang lain, tidak hanya terhadap Tuhan dalam
pengertian orientasi kepada kehidupan akhir. Jadi, Agama itu berkaitan dengan
agama itu sendiri, dalam berbagai perpaduan, dengan masalah etika, kosmologis
dan eskatologis, tetapi sama sekali tidak dengan cara yang sama atau dengan
bobot penekanan yang sama; sebenarnya, setiap kaitan hubungan ini dapat
benar-benar dihilangkan.
3.
Masalah
Modernitas
Penyebutan masa kini sebagai “zaman modern”
bukan tanpa kritik. Kritik itu muncul karena inti dan hakekat zaman sekarang
bukanlah kebaruannya (modern pasti baru). Asumsi ini menegaskan seolah-olah
sesudah tahap ini tidak ada lagi yang berarti berikutnya. Di samping itu,
istilah “modern” mengisyaratkan penilaian yang cenderung positif. (modern
berarti menjadi baik). Padahal dari sudut hakekatnya, zaman modern itu bersifat
netral. Meskipun penyebutan zaman sekarang sebagai “zaman modern” merupakan
konvensi yang salah kaprah, tetapi kita terlanjur menerimanya begitu saja.
Secara hakiki zaman sekarang lebih tepat disebut sebagai zaman teknik (technical
age). Alasan ini didasarkan pada peran sentral teknik serta bentuk-bentuk
kemasyarakatannya yang terkait dengan teknikalisme. Wujud keterkaitan
antarsegi-teknologis diacu sebagai dorongan yang besar pertama umat manusia
memasuki zaman sekarang ini, yakni Revolusi industri dan Renaisans di Prancis.
Aufklarung
sebagaimana dilansir Foucalat adalah sebuah periode yang menciptakan visi,
ajaran, dan aturan sendiri. Ia adalahsebuah periode yang mampu menuturkan
sejarah umum pemikiran serta bentuk-bentuk pengetahuan, kedunguan, dan ilusi
yang memungkinkan manusia menyadari situasi historis yang dihidupinya.
B.
Gejala dan
Definisi Modernisasi
Secara harfiah, istilah modern mengacu kepada
pengertian “sekarang ini”. Istilah ini dianggap sebagai lawan dari istilah ancient
atau traditional. Dengan demikian, kedua istilah itu merupakan tipe
ideal dari dua tatanan masyarakat yang berbeda. Pada tertentu yang ditemui
sekarang ini. Dalam pengertian ancient atau traditional, mencakup
“pengertian sisa” (residual sense) dari ciri-ciri masyarakat modern.
Istilah modern kemudian berkembang menjadi salah satu istilah teknis akademis.
Perkembangan istilah tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah Peradaban
Eropa. Istilah modern berkaitan erat dengan Eropa abad pertengahan, Renanaisance,
Aufklarung, hingga mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan ke-20.
Batasan modernisasi tersebut memiliki kekuatan
dan kelemahan. Keuntungannya adalah kemudahan dalam mengukur tingkat perkembangan
manusia. Indikator perkembangan dari modernisasi masyarakat tersebut
memungkinkan semua masyarakat yang dikenal ditempatkan pada suatu garis lanjut
(continum) menurut besar-kecilnya modernisasi. Dalam hubungan ini, indikator
dari modernisasi masyarakat tidak dipandang sebagai faktor kausal dari proses
modernisasi masyarakat, tetapi hanya sebagai salah satu unsur yang secara
empiris selalu merupakan bagian integral dari proses modenisasi. Kelemahannya
terletak pada ketidakmampuan menjabarkan proses modernisasi secara keseluruhan.
Dengan membatasi pada salah satu indikator modernisasi, sulit menentukan apakah
indikator itu merupakan unsur yang mutlak dari proses modernisasi ataukah hanya
salah satu faktor yang secara kebetulan selalu menyertai proses modernisasi
hingga sekarang.
Proses modernisasi dan bentuk modernisasi yang
dicapai oleh setiap masyarakat akan berbeda-beda. Berdasarkan luasnya gejala
modernisasi, masing-masing disiplin ilmu sosial telah memusatkan perhatian pada
unsur-unsur yang berbeda dari proses modernisasi. Modernisasi berarti pula
tumbuhnya kompleks industri yang besar, tempat barang konsumsi dan produksi
dihasilkan secara massal. Adanya kompleks industri mengimplikasikan tentang
adanya organisasi yang kompleks guna mendirikan, menyelenggarakan, dan
mengembangkan aparat produksi dan untuk mengadakan pembelian bahan baku serta
pemasaran produksinya.
C.
Beberapa
Pandangan Tentang Proses Modernisasi
Pertama,
pandangan yang menyatakan bahwa modernisasi ditentukan oleh adanya sikap-sikap
modern tertentu. Dengan perkataan lain, sikap-sikap modern merupakan prasyarat
bagi keberhasilan proses modernisasi. Pandangan ini diwakili oleh David
McClelland dan Max Weber.
Kedua,
Gerschenkron mengusulkan prinsip “keluwesan” (substitutalibility). Nilai-nilai
yang pada umumnya dipandang tradisional dapat mempercepat modernisasi sangat
bergantung pada konteks social dan untuk apa nilai-nilai itu digunakan.
Cikal
bakal modernisasi berasal dari munculnya gerakan pemikiran abad pertengahan –
yang disebut sebagai Zaman Pencerahan – yang membawa implikasi perubahan
mendasar hampir dalam semua kehidupan manusia. Disisi lain terjadi krisis
global yang tidak diharapkan dalam kehidupan social: munculnya dekadensi moral
dan kekacauan kemanusiaan yang melahirkan manusia merampas hak orang lain dan
tidak mempedulikan nasib manusia yang lainnya. Capra, dalam bukunya Titik
Balik Peradaban (1980), menulis: “Banyak kejadian yang tragis dan paradoks
di dunia ini, misalnya berjuta-juta anak yang kekurangan makan dan bergizi
buruk; sementara perlombaan senjata yang menelan dana jutaan dolar menjadi
prioritas utama dalam anggaran belanja Negara-negara sedang berkembang. Ini merupakan
kenyataan paradoks yang melanda hampir di semua Negara pada masa modernisasi
mulai berjalan.”
Sebagai
penerapan ilmu pengetahuan dalam setiap aspek kehidupan, modernisasi berakar
pada kesadaran abad sebelumnya (abad ke-14), yang disebut sebagai “Abad
Pencerahan”. Semboyannya adalah “Beranilah Berpikir Sendiri”. Sikap umum
manusia produk “Abad Pencerahan” terhadap agama kurang bersahabat.
Modernitas: Proyek yang belum selesai
Habermas
(1987) melihat modernitas sebagai “proyek yang belum selesai” dalam arti masih
banyak yang harus dikerjakan dalam kehidupan modern sebelum kita mulai berpikir
mengenai kemungkinan post-modern (Outhwaite, 2000: Scamber, 1996).
Habermas
(1986: 96) menganggap modernitas berbeda dengan dirinya sendiri. Maksudnya
adalah bahwa rasionalitas (sebagian besar rasionalitas formal) yang mencirikan
sistem sosial berbeda dan bertentangan dengan rasionalitas yang menandai
kehidupan sehari-hari. Sistem sosial berkembang semakin kompleks,
terdiferensiasi, terintegrasi, dan ditandai oleh pertimbangan instrumental.
Kehidupan – dunia juga telah menyaksikan peningkatan diferensiasi dan
kondensasi (tetapi dari basis pengetahuan dan ruang nilai dari kebenaran,
kebaikan, dan keindahan), sekularisasi dan institusionalisasi norma refleksi
dan kritik (Seidman, 1989: 24) rasional akan menjadi sebuah masyarakat di mana
sistem dan kehidupan – dunia mungkin akan menjadi rasional menurut caranya
sendiri, mengikuti logikanya sendiri. Rasionalitas sistem dan kehidupan – dunia
dapat menimbulkan kemakmuran dan pengendalian terhadap lingkungannya sebagai
akibat dari sistem rasional dan sistem kebenaran, kebajikan dan keindahan yang
berasal dari kehidupan – dunia yang rasional. Namun dalam kehidupan modern, sistem
menjadi dominan dan menjajah kehidupan – dominan. Akibatnya adalah bahwa meski
kita menikmati buah sistem rasionalisasi, kita terampas dari kekayaan kehidupan
yang berasal dari kehidupan – dunia yang mungkin berkembang.
Lalu
bagaimana gambaran Habermas menurut kebanyakan teoritisi belum selesai itu?
Jelas, produk akhirnya adalah masyarakat rasional penuh di mana baik sistem
maupun rasionalitas kehidupan – dunia dimungkinkn untuk mengungkapkan dirinya
sendiri sepenuhnya tanpa yang satu menghancurkan yang lain. Kita kini menderita
pemiskinan kehidupan – dunia dan masalah itu harus diatasi. Namun, jawabannya tak
terletak pada penghancuran sistem (terutama sistem ekonomi dan administrasi),
karena sistem itulah yang menyediakan persyaratan material yang diperlukan
untuk memungkinkan kehidupan – dunia menjadi rasional.
D.
Globalisasi dan
Dampaknya
Menurut
Luhmann, globalisasi dan modernisasi itu sangat dekat hubungannya sehingga
membicarakan globalisasi dunia, orang tidak bisa lupa membicarakan semakin
modernnya dunia. Modernisasi dunia, kata Luhmann merupakan akibat signifikan
dan westernisasi yang digelar oleh Negara-negara kapitalis sekalipun membawa
problem sendiri seperti adanya perbedaan Negara dan integrasinya, sehingga yang
dibutuhkan dalam transformasi masyarakat adalah perlunya jaringan komunikasi
yang memadai dan berlangsung terus-menerus.
Dari
globalisme memunculkan apa yang dinamakan Neoliberalisme. Neoliberalisme
sendiri merupakan istilah yang belakangan ramai diperdebatkan. Neoliberalisme
merupakan kelanjutan dari liberalisme ekonomi yang berlandaskan pada penjajahan
non fisik pada Negara-negara di Selatan, utamanya oleh Negara-negara di Utara.
Negara-negara di Selatan adalah Negara penghutang, sementara Negara di Utara
adalah pemberi utang.
Tempat Agama
Dimana
tempat agama ketika globalisasi dan neoliberalisme menghantam Indonesia?
Pertama, agama akan menjadi penghalang utama adanya
globalisme dan neoliberalisme karena pada prinsipnya agama tidak mengajarkan
adanya hidup berlebihan. Berlebihan dalam konsumsi dan berkarakter yang menjadi
ciri khas globalisme dan neoliberalisme merupakan musuh utama agama (Islam).
Ini jelas menjadi rujukan yang dapat dicarikan referensinya dan normatif agama
(Islam). Orang yang dalam beragama benar-benar mengamalkan dan mengikuti
petunjuk kitan suci tidak akan mudah tergelincir dalam tarian globalisme dan
neoliberalisme.
Kedua,
agama akan bersifat kritis atas globalisme dan neoliberalisme sebab agama
sebenarnya memiliki elan vital untuk melakukan “perlawanan” atas hal-hal yang
dianggap kurang berpihak pada kelompok terpinggirkan, mustadafin dan tidak
beruntung. Paham ini meyakini bahwa agama dengan kekuatan revolusionernya akan
mampu melakukan kritik atas perkembangan globalisme dan neoliberalisme dalam
dunia ini, termasuk di Indonesia.
Ketiga,
agama (Islam) di Indonesia akan mendukung lajur globalisme dan neoliberalisme
karena agama yang berkembang adalah paham agama yang menempatkan bahwa
globalisme dan neoliberalisme merupakan bagian dari sunatullah alias tidak
mungkin ditolak kehadirannya.
Bahkan elit agama akan mencarikan dasa-dasar legitimasinya tentang globalisme
dan neoliberalisme sebagai sumber keberkahan.
Tiga
perspektif yang penulis (Dr. Zuly Qodir) kemukakan tentang kemungkinan posisi
agama dalam globalisme dan neoliberalisme akan memperpanjang daftar apakah
agama di Indonesia akan benar-benar bermartabat dan bermanfaat untuk umat atau
tidak akan sangat tergantung pada pilihan paham yang akan dikembangkan oleh
elit agama dan kemudian umat beragama secara keseluruhan. Hanya saja, Dr. Zuly
berpendapat bahwa kemungkinan yang akan berkembang dalam era globalisme dan
neoliberalisme sebab dalam banyak kasus, agama di Indonesia lebih cenderung
mewakili kelompok sejahtera dan elit ketimbang kelompok kere dan mustadafin
(kelompok tertindas di Indonesia).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Secara harfiah,
istilah Modernisasi mengacu kepada pengertian sekarang ini. Istilah ini
dianggap sebagai lawan dari istilah tradisional. Dengan demikian kedua istilah
ini merupakan tipe ideal dari dua tatanan masyarakat yang berbeda.
Dilihat
dari spesifik Islam, terjadinya alienasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari modernitas tersebut merupakan suatu hal yang wajar. Karena modernitas yang
kita hayati dalam kehidupan sehari-hari ini adalah diimpor dari dunia barat
yang memiliki sistem nilai logika dan perkembangan tersendiri yang di dalamnya
terdapat unsur yang sinkron dan saling melengkapi yang bersifat universal.
Agama dilain pihak dipandang tidak mampu
melerai konflik-konflik maupun dis-organisasi sosial. Namun sebaliknya harus
dipahami pula bahwa satu sisi agamalah yang diharapkan bisa memainkan peranan
positif aktifnya dalam mengerem perilaku serakah, brutal dan mengancam
kehidupan yang bertatanan ketuhanan,
kemanusiaan dan transendental dalam menuju dunia yang damai dan berperadaban.
Disinilah letak peran penting pemimpin agama untuk dapat menginterpretasi agama
dari berbagai sudut pandang, rasional, universal yang sesuai dengan kebutuhan
umat manusia dan zaman hingga agama tidaklah dipandang sebagai momok penghalang
dari era modern ini.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Qodir, Zuly. 2011. Sosiologi
Agama Esai-esai Agama Di Ruang Publik, Yogyakarta: PUSTAKA BELAJAR.
Kahmad,
Dadang. 2011. Sosiologi Agama (Potret Agama dalam Dinamika Konflik,
Pluralisme, dan Modernitas). Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
Ritzer, George & J. Goodman, Douglas (Terj. Alimandan). 2004. Teori
Sosiologi Modern (Ed.6). Jakarta: Kencana.
Robertson, Roland. (terj, Achmad
Fedyani Saifuddin). 1995. Sociology of religion. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Biografi Tokoh:
Texts.cdlib.org/view?docId=hb9k4009c78&doc.view=frames&chunk.id=div00039&toc.id=
diakses pada tanggal 08 Maret 2016 pukul 23.25 WIB